Ayo kanca-kanca ngayahi karyaning praja
Kene, kene, gugur gunung tandang gawe
Sayuk rukun bebarengan ro kancane
Lila lan legawa kanggo mulyaning Negara
Siji (loro) telu (papat) maju papat papat
Diulung-ulungake mesthi enggal rampunge
Holobis kuntul baris, holobis kuntul baris
(tembang Gugur Gunung)
Pada tanggal 26 Oktober 2010, pukul 17:42, gunung Merapi, salah satu simbol spiritual bagi kraton dan rakyat Yogyakarta, kembali mengalami erupsi, memuntahkan awan material panas disertai wedhus gembel (awan panas) yang merenggut nyawa 15 orang, termasuk juru kunci Merapi, Mbah Maridjan, sosok yang menjadi panutan bagi rakyat Jogja dalam kesederhanaan, pengabdian, dan tanggung jawab.
Sontak Jogja berduka, puluhan ribu penduduk lereng Merapi meninggalkan desanya menjadi pengungsi, dan masih akan bertambah lebih banyak lagi jumlah pengungsi dan korbannya seiring dengan zona aman yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang, yang hingga saat ini mencapai radius 20 kilometer dari puncak Merapi.
Tapi disitulah keistimewaan Jogja kembali diuji. Seperti ungkapan Bung Karno “Jogja istimewa bukan hanya daerahnya, tapi juga orang-orangnya yang rela berkorban untuk republik”, warga dari berbagai unsur masyarakat bahu-membahu untuk menolong para pengungsi dan korban. Meminjam istilah Jawa; ‘ora sanak ora kadang, yen mati melu kelangan’ (bukan sanak saudara, ketika mati, kita ikut kehilangan), para pengungsi diibaratkan sebagai ‘tamu’ yang harus dilayani, mulai dari gerakan nasi bungkus hingga membuka rumah mereka untuk menampung para pengungsi.
Semangat gotong royong begitu kental, tidak memandang status sosial dan agama. Partisipasi warga yang guyub-rukun dan bahu-membahu untuk menyelesaikan persoalan sepert ini, dalam istilah Jawa disebut dengan ‘gugur gunung’. Istilah inilah yang kemudian digunakan sebagai judul sebuah acara konser amal; sebuah undangan terbuka bagi seluruh insan musik di kota Jogja untuk terlibat dan mencoba memberi sumbangan kepada para korban dan pengungsi. Disepkati juga bahwa hasil dari konser amal Gugur Gunung tersebut akan disumbangkan bukan hanya untuk korban dan pengungsi Merapi, tapi juga untuk korban bencana tsunami di Mentawai, dan banjir di Wasior.
Acara konser Gugur Gunung mungkin tergolong aneh, karena diadakan di kota yang justru sedang dilanda bencana. Tapi hal seperti ini adalah dinamika tipikal kota Jogja, mirip dengan gempa bumi tahun 2006, dalam situasi bagaimana pun, kehidupan diupayakan untuk tetap normal oleh warga, aktivitas ekonomi tetap dijalankan, acara-acara kesenian, pameran, konser, tetap dilangsungkan. Mungkin hanya acara-acara yang dikerjakan oleh pihak dari luar Jogja yang kemudian dibatalkan.
Gugur Gunung hanya dipersiapkan dua hari, Erick Soekamti, front man band punk asal Jogja, Endank Soekamti, menjadi komandan untuk Gugur Gunung, sementara saya, Kill the DJ, founder Jogja Hip Hop Foundation, menjadi juru bicara dari gerakan ini, dibantu rekan-rekan dari event organizer dan para musisi yang lain, akhirnya acara pun berjalan selama tiga hari, 29 s/d 31 Oktober 2010.
Konser pertama, 29 Oktober, di lapangan Lembah UGM, mendapat ujian besar, ditengah acara hujan besar tanpa henti ketika baru empat band manggung dari 24 band yang direncanakan. Begitu pula acara hari kedua, 30 Oktober, di tempat yang sama, ujian kembali datang, kali ini bukan hujan air, tapi hujan abu vulkanik yang melanda wilayah Jogja dan sekitarnya pada malam sebelumnya, acara outdoor menjadi kurang diminati. Alhasil dari dua hari konser, yang melibatkan 48 band ini, hanya mampu mengumpulkan donasi kurang lebih 4 juta rupiah.
Tapi seluruh team Gugur Gunung tidak menyerah, masih ada hari ketiga yang diplot menjadi andalan acara konser amal ini. Di hari ketiga ini line up yang diplot adalah band-band dengan nama besar yang mempunyai fans base kuat di kota Jogja, seperti; ShaggyDog, Endank Soekamti, Sheila on 7, Letto, SKJ 94, Jogja Hip Hop Foundation, dan masih banyak lagi. Juga, pada acara ketiga yang digelar di Liquid Next Generation Club tersebut, diadakan lelang barang-barang milik artis yang disumbangkan, antara lain; Topi milik Anji Drive, Gitar milik Eet Syahrani, Microphone milik Tantri Kotak, dan masih banyak lagi.
Penampil demi penampil manggung, lelang demi lelang terjual, dipandu oleh MC Lokal Anang Batas, Gepenk Kesana-Kesini, Alit Jabang Bayi, dan Kunchunk, acara berlangsung penuh guyon, kocak, dan meriah khas dagelan Mataram, seperti tidak ada beban bahwa Merapi sedang bergejolak diujung kota.
Acara malam itu berhasil mengumpulkan donasi sebesar 40-an juta rupiah yang dihasilkan dari penjualan tiket dan lelang. Setelah dikumpulkan dengan donasi dari konser hari pertama dan kedua, juga lelang yang berlangsung hingga seminggu setelah acara, total Gugur Gunung berhasil menghimpun dana 50-an juta rupiah. Sesuai dengan kesepakatan awal, yang kemudian menjadi subtitle acara ini, ‘dari Jogja untuk Indonesia’, hasil ini akan dibagi untuk sumbangan bencana Merapi, Mentawai, dan Wasior.
Khusus untuk Merapi, rencana awalnya, uang tersebut akan digunakan untuk membangun ulang rumah gamelan di dusun Kinahrejo yang hancur diterjang material panas. Jika ada kekurangan uang akan ditambah dengan dana yang berhasil dikumpulkan oleh United of Nothing, sebuah komunitas tanggap bencana di Jogja yang saya dirikan sejak 2004. Cita-citanya rumah tersebut akan diberi nama Omah Gugur Gunung, sebagai monumen untuk mengenang semangat gotong royong dan pantang menyerah dari seluruh warga Yogyakarta dan sekitarnya dalam menghadapi bencana.
Yogyakarta, 5 November 2010
Kill the DJ
Tulisan ini dimuat di RollingStone Indonesia
http://www.rollingstone.co.id/read/2010/12/02/964/13/2/Gugur-Gunung