Category Archives: Blog

Sedulur & Cerita Dibalik Lagu

Kembali

Setelah dua tahun, akhirnya secara kolektif Jogja Hip Hop Foundation (JHF) kembali mempunyai karya baru berupa single berjudul “Sedulur” lengkap dengan video musiknya. Tercatat JHF merilis karya terakhir berupa single “Jogja Ora Didol” (Juni, 2014), artinya sudah dua tahun lebih. Banyak cerita yang terjadi di rentang waktu itu yang tidak pernah dipublikasikan secara resmi dan hanya menjadi desas-desus. Melalui tulisan ini ijinkan saya bercerita secara personal.

Single Sedulur menandai kembalinya saya, Marzuki Mohamad alias Kill the DJ, yang sudah lebih dari setahun istirahat dari JHF karena tidak mau lagi menyanyikan lagu “Jogja Istimewa” dengan alasan; janji Keistimewaan Jogja untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sama sekali tidak terbukti, untuk tidak menggunakan kata bohong. Itu sebuah pilihan yang sulit buat personil JHF yang lain, sebab bagaimanapun lagu “Jogja Istimewa” adalah pencapaian luar biasa yang telah membawa kami sedemikian jauh, meskipun ketika lagu tersebut diciptakan tidak pernah dimaksudkan untuk tujuan politis, sekedar mengaktualisasi nilai-nilai tradisional yang berlaku di Yogyakarta yang kebetulan bertemu dengan momen keistimewaan yang memanas.

Begitulah saya, bisa sangat terlibat sekaligus segera mengambil jarak, sebagaimana di Pilpres 2014 di mana saya tercatat sebagai musisi pertama yang pembuat lagu dan video dukungan untuk kampanye Jokowi untuk kemudian segera mundur setelah Pilpres selesai. Hingga sekarang saya juga sama sekali belum pernah secara langsung berusaha mengakses Dana Keistimewaan ketika seniman/institusi lain banyak yang meributkannya. Pernah terjadi sebatas kompensasi atas kesalahan Dinas Kebudayaan menggunakan lagu JHF tanpa ijin copy right, tentu saja lagu kami bukan milik negara. Saya selalu yakin bisa menciptakan jalan sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Saya juga yakin banyak teman yang kecewa dengan kondisi Jogja paska Keistimewaan.

Karena tidak ada titik temu dalam menyikapi tidak maunya lagi saya menyayikan “Jogja Istimewa” dan hal tersebut adalah prinsip, saya memutuskan untuk sementara mundur dari JHF hingga waktu yang tidak ditentukan. Banyak cerita di mana order manggung batal gara-gara tidak ada nama Kill the DJ di JHF, tentu saja. Jarang manggung bisa jadi menjadi malapetaka buat personil JHF yang lain, saya peduli akan hal tersebut tapi saya tidak bisa berbuat banyak karena saya sedang tidak aktif.

Sementara buat saya pribadi, tidak manggung dan sangat memilih panggung bukan masalah, karena saya selalu berpikir tentang intelektual properti dan turunan kapitalisasinya atas apa yang sudah saya kerjakan. Sehingga saya tetap bisa memiliki penghasilan meskipun tidak manggung. Hal yang sulit saya terapkan bahkan buat teman-teman di JHF sendiri.

Salah satu contohnya, Balance tetap saja menjadi ghost producer untuk banyak musisi hip hop di Indonesia, bahkan hingga Singapura dan Malaysia, tanpa pernah mendapatkan right atas penjualan album dan right ketika lagu tersebut dimainkan karena semuanya beli putus.

thumb_img_0650_1024
Konser Amal #GugurGunung untuk #Aceh adalah konser resmi pertama saya kembali manggung bersama Jogja Hip Hop Foundation

Goyang Senggol; Album Yang Tidak Akan Pernah Dirilis

Sekitar tiga tahun lalu, awal 2013, saya membuat konsep hip hop dangdut untuk JHF, proyek album itu kami beri titel “Goyang Senggol”, tapi akhirnya konsep itu terbengkalai dengan berbagai alasan;

Pertama, bisa jadi personil JHF yang lain tidak berani mengambil resiko atau tidak tertarik dengan konsep hip hop dangdut campursari yang saya gagas. Masalahnya hal tersebut tidak terungkap secara gamblang. Setelah sekian lama bekerja bareng, buat saya hal-hal seperti ini seharusnya bisa didiskusikan secara terbuka dari awal ketika konsep dirumuskan. Ketika “Goyang Senggol” mulai digodok di studio yang terjadi justru mlemplem tanpa semangat penciptaan yang besar, baru belakangan diketahui mereka tidak nyaman dengan konsep “Goyang Senggol” tersebut.

Kedua, tidak semua orang memiliki visi dan mampu memperjuangkannya. Saya sudah memprediksi tiga tahun yang lalu, sementara buat personil JHF yang lain mungkin baru-baru ini saja bengong melihat fenomena NDX. Tentu saja saya tidak ingin membawa JHF menjadi seperti NDX. Dari sudut pandang pribadi, konsep “Goyang Senggol” adalah creative refreshment setelah sekian lama JHF dikenal dengan lirik dan musik “adiluhung” juga lirik-lirik yang ditulis Sindhunata di album “Semar Mesem – Rama Mendhem”. Ada titik di mana musisi tidak mampu membuat karya lebih bagus lagi, kemudian penggemar kecewa dengan album baru, untuk kemudian kembali puas dengan album berikutnya. 

Ketiga, semua personil JHF mendekati umur 40, jika memang benar bahwa life begins at forty, mungkin teman-teman sedang bimbang dengan pilihan antara terus bermusik atau pindah haluan. Atau menyikapi hip hop sebagai samben alias hobby atau kerja sampingan. Akhir 2015, Anto Gantaz pernah pamit dari JHF karena diwarisi tanggungjawab bisnis keluarganya. Meskipun sekitar lima bulan setelahnya dia kembali aktif di JHF. Sementara Mamox hidup dan matinya oleh dan untuk hip hop, artinya ada soal totalitas yang sebenarnya tidak sejalan. Determinasi yang saya miliki tidak akan berjalan maksimal dengan kondisi demikian.

Karena menemui jalan buntu, pada akhirnya saya menyulap konsep “Goyang Senggol” menjadi album “Kewer-Kewer” bersama Libertaria, unit elektronika yang sudah lama saya gagas bersama Balance. Dan proyek “Kewer-Kewer” benar-benar saya sikapi sebagai refreshing bersama teman-teman kolaborator; Glenn Fredly, Farid Stevy, Paksi Raras, Heruwa, Riris Arista, Brodod, dll. Bersama Libertaria saya juga merilis single “Ora Minggir Tabrak” untuk AADC2, “Lebaran”, dan “Together We Are More” bekerjasama dengan Guinness. Saya dan Balance menyikapi Libertaria adalah kanal untuk hal-hal yang tidak mungkin dikerjakan bareng JHF.

Sayangnya saya harus mengurangi intensitas kerja karena saya mengalami kecelakaan yang mengakibatkan otot ACL Ligamen saya putus, saya harus menjalani operasi layaknya atlet dan tidak bisa berjalan normal selama berbulan-bulan.

Dedikasi & Determinasi

Selama rentang waktu dua tahun itu, kami juga mengalami manajeman yang berantakan. Pada Juni 2015, Dita, manajer JHF, kami berhentikan karena terlalu sibuk dengan pekerjaan lain di luar JHF, di mana itu membuat kinerja manajemen kami tidak berjalan dengan baik dan penjualan merchandise terpaksa kami hentikan. Tapi hal-hal tidak bisa dinilai di permukaan saja, segalanya ada sebab dan akibat.

Sebelumnya di berbagai kesempatan, Dita sudah berulangkali mengeluhkan bahwa personil JHF tidak cukup berdedikasi atas profesinya sebagai musisi, hal yang membuat dia kehilangan semangat dan tidak bisa lagi bekerja sepenuh hati seperti pertama kali bekerja untuk JHF. Saya membenarkan hal tersebut. Bakat tidak akan menjadi apa-apa tanpa dedikasi, di mana hal itu menuntut pengorbanan dan determinasi. Seberapa besar kita berjuang itulah hasil yang akan didapatkan. Jika setengah-setengah hasilnya juga akan setengah-setengah.

Buat saya, sama sekali tidak penting berdebat siapa yang bisa ngerap paling bagus, bahkan berulang kali saya secara gamblang menyatakan di berbagai media interview, bahwa rap skill saya paling buruk dibandingkan personil JHF yang lain. Saya perlu rutin berolahraga dan latihan vokal setiap hari untuk bisa mempunyai energi dan karakter seperti di single “Ora Minggir Tabrak”. Sementara yang lain mungkin bakatnya sudah bawaan dari lahir. Tapi faktor keberhasilan bukan terletak pada skill dan bakat, sebab musik bagus saja tidak akan pernah cukup, banyak turunan pekerjaan yang lain yang menjadi penentu keberhasilan setelah musik diciptakan.

Bagaimanapun Dita adalah teman kerja saya dengan standar yang paling tinggi bahkan jika dibandingkan dengan personil JHF yang lain. Segala hal bisa dibicarakan meskipun juga sering berantem. Setelah dia berhenti dari manajeman JHF, saya tetap sering bekerja dengannya untuk proyek-proyek khusus di luar JHF.

Radjapati Mengundurkan Diri

Single “Sedulur” juga manandai keluarnya Lukman Hakim a.k.a Radjapati, tepatnya terjadi di pertengahan Ramadhan 2016 lalu. Alasannya sangat personal, yaitu ajaran agama membatasi dirinya, sementara bagi yang lain agama adalah urusan masing-masing. Masalahnya bukan ajaran agama seperti apa yang kita anut, melainkan jika sudah menghambat kerja secara kolektif maka harus dibicarakan dalam koridor profesional. Sebuah tuntutan yang sulit diwujudkan bagi karakter personil JHF lain yang “nJawani”, hingga akhirnya pada suatu malam dengan susah payah kami mampu membicarakannya, hasilnya Lukman Hakim memilih untuk mundur dari JHF dan kami harus bisa menghargai pilihan tersebut.

Di sisi lain, keluarnya Lukman Hakim saya akui sebagai salah satu syarat bagi saya untuk sudi kembali memberikan energi dan memikirkan JHF. Mungkin kedengaran kejam, tapi secara profesional sama sekali tidak. Di umur 40 saya sudah tidak rela menghabiskan energi untuk membela sebuah unit tanpa dedikasi, yang lebih penting lagi tidak berintegritas, dan yang jauh lebih penting dari semua itu adalah pertemanan yang hangat tanpa rasa canggung.

Pada suatu malam saya berdiskusi mendalam dengan Antok, tentu saja dia adalah kompatriotnya Lukman di Rotra, saya ungkapkan bahwa saya lebih besar dari semua yang sudah kita capai bersama, tapi kenapa saya tetap mau memikirkan JHF? Dedikasi bisa dijadikan nomer sekian, buat saya tidak mengapa jika teman-teman menyikapi hip hop sebagai samben, saya tetap bisa membelanya, tapi integritas dan pertemanan tidak bisa ditawar.

Peristiwa demi peristiwa di JHF selama dua tahun terakhir membuat saya terngiang bagaimana Erix Soekamti mulai giat belajar membuat video ketika saat itu dia masih kagum dengan film dokumenter Hiphopdiningrat (2009) yang dirilis JHF, sebuah film dokumenter panjang pertama tentang grup musik yang dirilis di Indonesia, dan sekarang silahkan menilai sendiri profil Erix seperti apa.

Sebenarnya saya tipe orang yang tidak peduli dengan urusan-urusan pribadi ketika bekerja, tapi di sisi lain, sebuah kolektif musik semacam JHF seharusnya bisa seperti keluarga. Hal yang sulit diwujudkan jika segalanya tidak bisa dibicarakan secara terbuka dan tidak punya waktu untuk ‘nakal’ bareng. Harus diakui itulah yang terjadi di JHF hingga akhirnya kami harus bersusah payah untuk membongkarnya. Memang banyak kasus di generasiku, orang Jogja bingung memisahkan relasi teman dan kerja.

Penciptaan Sedulur

Sengaja saya tidak serta merta mengajak JHF membuat karya bareng begitu konsolidasi internal dilalui dengan sangat melelahkan. Di tengah kesibukan pribadiku yang saat itu padat, saya lebih sering ngajak bermain, nongkrong bareng sembari membicarakan hal-hal yang tidak penting, hingga chemistry-nya kembali ketemu, supaya ketika nanti masuk studio sudah tidak ada lagi beban personal di antara kami. Semangat idealnya adalah “reborn”, JHF benar-benar terlahir kembali. Cita-cita berkarya lewat hip hop berbahasa Jawa sampai tua kembali menyala.

Setelah empat bulan, kami akhirnya masuk studio dengan banyak peralatan baru yang di-investasikan, hingga saya belanja peralatan audio visual baru untuk bisa menggarap video kapan saja. Saya mengibaratkan situasi ini seperti hipster kekinian yang membeli banyak apparel sebagi mood booster ketika memulai niat berolahraga. Semoga saja tidak patah semangat setelah lari pertama kali dan esoknya mendapati badanya remuk pegel-pegel karena ototnya kaget.

Lagu “Sedulur” yang sudah sejak lama kami impikan akhirnya bisa kami garap, seharusnya lagu tersebut diciptakan untuk para penggemar kami yang menamakan dirinya “Sedulur” sebagai bentuk ucapan terima kasih atas dukunganya selama ini, juga permohonan maaf dari kami untuk para penggemar setalah sekian lama tidak merilis karya baru. Atas pertimbangan situasi terkini di mana intoleransi semakin memanas, lagu tersebut akhirnya ditulis untuk kalangan yang lebih luas.

Di sini lah alasan kenapa integritas bisa lebih penting dari dedikasi? Buat apa kita ngomong hal-hal besar jika kita tidak bisa menerapkannya di lingkungan terkecil kita. Kita tidak bisa menyuarakan anti korupsi sementara sebenarnya kita korup. Kita tidak bisa bicara toleransi sementara sesungguhnya kita intoleran. Sebelum menunjuk dan menghakimi orang lain, lebih baik melihat dan menceritakan diri-sendiri. Integritas adalah nilai yang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun, termasuk seberapa uang yang bisa kita dapat.

Maka, sebagaimana karakter semua video klip JHF yang selalu semi dokumenter sederhana, kami menggarap video “Sedulur” dengan setting perayaan Natal. Antok dan Mamox terlahir sebagai Katolik, sementara Balance dan saya muslim, kami tidak pernah punya masalah dengan hal itu. Termasuk saling mengucapkan di hari raya masing-masing. Ditambah kerabat dan teman-teman yang biasa bekerja bareng kami, jadilah video klip “Sedulur” seperti yang sudah kami publikasikan di Youtube tersebut. Silahkan menilai sendiri, semoga bermanfaat bagi siapa saja yang melihat dan mendengarnya.

It’s Alright To Be Wrong

Sekali lagi tulisan ini adalah sudut pandang personal saya, tapi bagaimana pun JHF memiliki penggemar dan sudah seharusnya mempunyai tanggung jawab publik untuk mengabarkan semua hal yang terjadi. Sebagai pendiri kolektif JHF dan sebagaimana 13 tahun lalu saya bertanggungjawab secara penuh atas apa yang terjadi di JHF, maka hal-hal untuk sementara kembali saya kabarkan secara personal hingga manajemen kembali bekerja normal.

Setelah semua peristiwa yang kami lalui tersebut, kami berjanji untuk kembali sering menyapa melalui karya-karya kami yang khas. Tidak mengapa salah dan tersesat jika kemudian kita menemukan diri kita menjadi lebih baik. Membuat atau menciptakan sesuatu memang lebih mudah dari pada merawatnya.

Melalui tulisan ini saya juga mengumumkan tidak masalah kembali menyanyikan lagu “Jogja Istimewa” dengan tujuan untuk mengingatkan kembali nilai-nilai yang harus dijunjung di lagu tersebut terutama kepada para pejabat pemerintahan di DIY, dan yang lebih penting menuntut janji cita-cita keistimewaa untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

It’s alright to be wrong… dan tulisan ini sudah terlalu panjang meskipun masih banyak printilan cerita yang bisa disampaikan.

Terima kasih atas perhatiannya.

Salam Paseduluran

Kill the DJ

Hidup itu Harus, Mati itu Pasti !!!

.IMG_1077

Aku menulis lirik untuk soundtrack AADC2, yang sebentar lagi track tersebut akan self-release dan bisa kalian unduh bebas, seperti ini:

seconds, minutes, hours, to a day / born to life, getting old, die anyway / time never stop, the past always locked / face it bravely, be crazy, be happy, be hungry / right here, right know, coz what will happen tomorrow we never know / let it flow, let it grow

Di verse sebelumnya ada paragraf bahasa Jawa yang lebih panjang dan aku merasa energetic karena menggunakan bahasa ibu ku tidak seperti verse Inggris-ku yang berlogat Klaten itu, berikut petikannya:

saiki, neng kene, ngene, dilakoni / semeleh kudhu gelem lan nggelemi (sekarang, di sini, begini, dijalani / pasrah, harus mau, dan mau melakukannya

Teman-teman, hari ini aku menulis blog ini tepat di hari di mana aku genap berusia 40 tahun. Kata orang “life begins at forty” dan sesungguhnya aku masih bingung dengan konsepsi itu. Tapi seberapa pun besar usaha kita untuk menolak menjadi tua, umur kita akan selalu bertambah dan menjadi tua adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari. Yang selalu aku harapkan adalah bahwa aku tidak akan pernah takut menjadi tua, aku hanya takut menjadi mlempem dan tidak bersemangat, takut menjadi mapan dan tidak mau lagi mencoba hal-hal baru, terutama dalam berkreatifitas untuk mewujudkan karya demi karya sesuai dengan passion-ku.

IMG_4106
foto ketika kami tidur di barak pengungsian

Ngomong-ngomong tentang ulang tahun, sebetulnya aku bingung, sebab aku tidak memiliki tradisi perayaan ulang tahun, bapak-ibuku yang Jawa-Islam tidak pernah merayakan ulang tahunku sama sekali, mungkin karena keluarga kami miskin dan menganggap ulang tahun tidak penting untuk dirayakan. Aku tidak pernah menyesal atau pun kecewa karena keluargaku tidak pernah merayakan ulang tahunku. Barangkali benar adanya bahwa perayaan ulang tahun itu memang tidak penting, toh itu hanya membuat kita tersadar bahwa kita semakin bertambah tua dan cepat atau lambat akan mati.

Aku mulai merasakan perayaan ulang tahun sejak memiliki pacar sungguhan, tepatnya ketika kelas 1 SMU, sebelumnya aku tidak peduli sama sekali dengan hari ulang tahunku. Setelahnya, semua perayaan ulang tahunku terjadi karena pacar demi pacar. Tidak ada yang perlu diperbandingkan karena semuanya sangat berkesan, sebab cinta tidak pernah salah dan bohong, semua pacarku baik. Setelah itu aku baru bisa merasakan makna perayaan ulang tahun, yaitu hanya bertambah tua dan semakin tidak berguna untuk digantikan dengan generasi yang lebih muda lagi brilian :-p

Ijinkan aku sedikit bercerita perayaan ulang tahun dua tahun lalu (2014), waktu itu aku merayakan ulang tahun bersama ribuan pengungsi eruspi Gunung Kelud di barak pengungsian Kota Batu. Sungguh, aku tidak peduli bahwa bapaknya pacaraku, Eddy Rumpoko dengan nama besarnya tidak lain adalah walikota Batu, waktu itu aku hanya peduli kepada nasib ribuan pengungsi, kemudian ketika pacarku Ganis Rumpoko menanyakan kepadaku tentang perayaan ulang tahun, aku menjawabnya dengan sederhana; tidak ada perayaan ulang tahun yang lebih hebat dari pada kita berguna bagi sesama manusia, mari kita rayakan dengan melayani para pengungsi.

SONY DSC
Foto ketika aku mengajak anak-anak pengungsi Kelud menggambar. Asalkan jujur dan tanpa pretensi semua gambar adalah bagus buatku.

Waktu itu aku meminta Ganis untuk membeli puluhan seperangkat buku dan alat gambar, kemudian kami mengajak anak-anak menggambar bersama, gambar yang bercerita tentang segala hal tentang diri mereka, bukan tentang diriku yang sedang ulang tahun. Kemudian gambar-gambar itu kami pamerkan di posko pengungsian agar semua pengungsi dan pengunjung melihat, dengan harapan mereka paham persepsi anak-anak yang sangat jujur menyikapi bencana. Aku selalu berharap kelak bisa menceritakan semua persepsi jujur anak-anak tentang bencana dalam sebuah buku. Hingga saat ini aku masih menyimpan gambar-gambar itu, sebagaimana aku menyimpan rapi semua dokumen dari Tsunami Aceh, Gempa Jogja, Erupsi Merapi, Sinabung, dll.

Sebagai orang yang sedari kecil dididik dengan ajaran Islam, ternyata saat ini aku tidak mau ambil pusing tentang kebenaran menurut agama –bahkan mungkin hingga orientasi seksual. Terserah masing-masing, yang paling penting kita bisa berguna bagi sesama. Aku tidak peduli kepada konsep surga dan neraka, sebagaimana Budha yang kamanungsan, aku hanya bisa selalu berharap semoga semua makhluk berbahagia, termasuk diriku sendiri dan semua mantan pacarku tentu saja :-p

Hidup itu harus, mati itu pasti !!!

Prambanan, 21 Februari 2016

Kill the DJ

Berselancar Bersama Zaman

 

berselancar bersama zaman

Anak muda dengan fashion hip hop, naik motor matic sambil kepalanya manggut-manggut menikmati musik old skool via ear phone, sesekali mulutnya menggumam kecil f*ck the police. Tapi begitu kena razia kendaraan bermotor, mendadak berubah jadi culun dan nyogok pak polisi karena tidak punya SIM atau STNK.

Begitulah gambaran hip hop di Indonesia secara umum, terjebak pada fashion namun minim pembuktian. Bukan berarti tidak ada, tapi masih sangat kurang. Diskusi-diskusi di forum internet paling tidak masih menggambarkan hal itu. Hip hop harus begini harus begitu. Tidak boleh begini tidak boleh begitu. Meskipun perdebatan ideologi selalu penting, tapi buat saya tidak perlu sampai menghakimi.

Sebagaimana genre lain, hip hop berkembang seiring zaman dan bersinggungan dengan disiplin lainnya. Sementara Lil Wayne sudah bekerja bareng Diplo, kita masih terjebak pada perdebatan halal dan haram. Tentu setiap orang punya pilihan dan itu hak masing-masing, boleh selamanya old skool dan memuja real hip hop, boleh juga berlanggam keroncong atau goyang dangdut. Tapi percayalah, yang menentukan hidup dan matinya hip hop bukan kita. Hip hop tidak perlu dibela.

Sayang, dalam sejarahnya di Indonesia, sesungguhnya banyak praktisi hip hop yang hanya cukup puas berkutat di komunitasnya saja, sangat elitis dan sombong, namun kurang pede untuk keluar dari lingkarannya untuk menantang dunia yang lebih luas. Itu bukan masalah musik bagus, tapi mentalitas dan cara pandang. Hasilnyaya gitu-gitu saja. Panas di dalam komunitasnya tapi dunia sebenarnya tidak tahu bahwa mereka ada.

Sebagaimana sering saya sampaikan, musik bagus saja tidak cukup. Berhentilah mengadili pasar yang tidak paham akan musikmu, berhenti mengadili industri yang ogah-ogahan melirik musikmu. Ganti dengan kerja keras, ciptakan pasarmu sendiri, ciptakan industrimu sendiri, bernafas panjang dan konsisten. Kalau musikmu masih belum didengar banyak orang, berarti kamu masih kurang bekerja keras. Itu saja.

Zaman berkembang, kehadiran internet mengubah paradigma industri musik, sekarang ini seorang musisi lebih mudah secara independen menyebarkan karyanya. Peradaban itu dinamis, tidak statis, begitu juga hip hop. Kita semua hanya punya pilihan: lentur atau meratap. Berselancar bersama zaman dengan riang gembira, atau terpajang di museum bersama kapak batu. Tentu ini bukan berarti sejarah tidak penting.

Akhir tahun lalu saya berkesempatan menyaksikan rapper-rapper dari 34 provinsi di Indonesia dengan gaya masing-masing yang unik. Sangat potensial dan cerah. Saya dibuat percaya bahwa generasi baru hip hop Indonesia itu ada dan lebih rileks mewakili semangat zamannya. Mereka akan muncul dan menulis sejarahnya dengan caranya sendiri tanpa terbebani doktrin-doktrin para sesepuh.

Prambanan, 2 Januari 2016

Marzuki “Kill the DJ” Mohamad

Berbeda itu Biasa

berbeda itu biasa

Akhir Agustus lalu saya menghadiri konser perayaan 20 tahun Superman is Dead (SID) dengan titel “Home Town Riot” di Hard Rock Café Bali. Tujuannya sih bukan melulu untuk nonton konsernya karena sudah terlalu sering bertemu dengan SID, melainkan untuk mengenang peristiwa-peristiwa kecil yang bersinggungan dengan diri saya sendiri sekitar 15 tahun yang lalu, terutama kangen-kangenan dengan Rudolf Dethu, manajer pertama SID, yang juga sedang merilis buku tulisannya, biografi 20 tahun SID berjudul “Rasis, Pengkhianat, Miskin Moral”.

Saat itu awal 2003, mungkin bulan Februari, saya lupa persisnya, saya juga lupa nama café di daerah Legian itu, di mana saya terlibat diskusi ‘panas’ bersama Rudolf Dethu dan Anton Kurniawan (ex manajer Sheila on 7) tentang kemungkinan SID menerima tawaran kontrak dari Sony Music. Kebetulan Sheila on 7 yang saat itu sedang moncer-moncer-nya juga dibawah label Sony Music sehingga Dethu butuh banyak masukan, terutama dari Anton.

Sebagaimana saya, Dethu mengaku lupa detail percakapannya, sebab kami berdua melakukannya sambil minum beberapa shot tequila, mungkin Anton yang bukan peminum miras itu masih ingat detailnya. Tapi secara garis besar pembicaraan mengarah pada, bahwa SID needs more stages dan itu baik untuk mereka dan Bali di masa depan. Saya tidak tahu apa yang didiskusikan Dethu bersama Jerinx, Bobby, dan Eka, setelah itu. Namun pada akhirnya kita tahu bahwa SID memutuskan untuk bergabung dengan Sony Music. Tentu saja setiap pilihan punya resiko dan peluangnya masing-masing. Termasuk cap pengkhianat atau lonthe dari para penjaga ideologi dan aqidah punk-rock di Indonesia yang mengikutinya paska kontrak itu.

Ada suatu waktu di masa-masa itu, saya menemani SID di hotel mereka paska konser di GOR UPN Yogyakarta yang berujung dengan keributan karena diserang oleh penonton gara-gara plintiran isu ‘fuck java’ dan ‘pengkhianat punk’. Hadir juga di sana beberapa teman yang lain, seingat saya ada Heru Shagydog, Erix Soekamti, Gufi, dan masih banyak lagi yang saya lupa. Kita ada di tempat itu untuk memberi pesan damai dan ketenangan bagi rombongan SID, bahwa kita ada bersama mereka.

Segala kasus yang timbul setelah pemukulan terhadap Boby di UPN itu terselesaikan dengan sendirinya, waktu memberikan jawaban akan hal-hal, beberapa teman yang belakangan teridentifikasi melakukan pengeroyokan mengaku malu, pun para personil SID mengaku tidak punya dendam sama sekali akan peristiwa-peristiwa kekerasan semacam itu, yang juga terjadi di beberapa kota lainnya. Sebaliknya, justru menjadi bagian penting dari perjalanan terbentuknya identitas SID dan membuat mereka semakin kuat.

Jika kita melihat SID sekarang yang menjelma menjadi ‘gerakan sosial’, bukan sekedar band, terutama dalam gerakan Bali Tolak Reklamasi, sepertinya tuduhan-tuduhan miring yang dialamatkan kepada mereka ketika memutuskan begabung dengan major label hilang dengan sendirinya melalui pembuktian demi pembuktian. Meskipun sudah menjadi hukum alam, bahwa seiring dengan naiknya popularitas pasti dibarengi dengan lahirnya pembenci-pembenci (haters) berikutnya. Apalagi Jerinx adalah si mulut besar yang gampang terpancing amarahnya. Haha… Tapi saya yakin, jika SID tidak bergabung dengan Sony Music, yang nota bene adalah representasi industri musik mainstream, amplifikasi gerakan sosialnya tidak akan bisa semasif sekarang ini.

Berbicara tentang industri musik dihadapkan dengan idealisme dan ideologi berkarya, sepertinya di Indonesia memang tidak bisa menghakimi hal-hal secara hitam-putih. Ketika sebuah band tampil di sebuah event dengan sponsor perusahaan kretek multinasional, apakah musisi itu serta-merta sedang mempromosikan agar penggemarnya merokok kretek? Di sisi lain, sejarah telah membuktikan bahwa di Indonesia industri kretek lah yang paling konsisten membuat musisi-musisi tampil dari panggung ke panggung hingga ke kota-kota kabupaten.

Apakah dengan kondisi semacam itu kemudian dengan mudah kita bisa menghakimi musisi-musisi itu sebagai hipokrit karena mungkin bertentangan dengan prinsip-prinsip yang sering disuarakannya? Lalu apakah kita bisa memberikan solusi lain agar jantung industri musik tetap berdenyut ketika menghakiminya? Sama halnya dengan sebuah renungan kecil seperti ini: apa yang terjadi jika aktivis anti-rokok datang dan memberikan sosialisasi kepada para petani tembakau untuk tidak menanam tembakau di desaku? Ketoke malah isa dipacul cangkeme.

Ada sebuah cerita lain yang menarik, konon di tahun 70-an Harian Kompas diundang ke istana untuk manandatangani surat perjanjian di depan presiden Soeharto, isinya salah satunya Kompas tidak boleh lagi menulis berita-berita seputar bisnis keluarga Soeharto, atau akan dibredel jika tetap melakukannya. Sungguh sebuah pilihan yang sangat sulit; menentang tapi padam atau berkompromi dengan situasi sulit kemudian merawat dan menumbuhkan api perlawanan diam-diam. Menurut cerita, awak redaksi di dalam Kompas sendiri waktu itu tegang dalam perdebatan. Memilih mengambil peran dan berada di dalam sebuah sistem yang busuk untuk mengubahnya sedikit demi sedikit sama susahnya dengan melawannya dari luar. Meskipun citra yang dihasilkan bisa jadi sangat-sangat berbeda. Tapi kalau semua orang baik sama dengan harus selalu menjadi aktivis, maka tidak akan ada orang baik yang mau jadi birokrat.

Mempunyai tujuan yang diyakini baik dan benar tapi di saat bersamaan harus berkompromi dengan berbagai situasi dan pilihan sulit adalah lumrah. Segala sesuatu kadang tidak harus dijelaskan serta-merta saat itu juga. Kadang kita kecewa, lelah dan merasa kalah. Tapi hidup memang bukan melulu tentang kemenangan. Selama kita yakin bahwa tujuan kita baik dan dipegang teguh, waktu akan membuktikan hal-hal. Penting untuk tetap berbuat adil sejak dalam pikiran dan selalu menjaga akal sehat agar bisa menghormati setiap pilihan-pilihan dan prinsip berbeda yang diambil oleh orang lain.

Duta Sheila on 7 pernah membuat saya kagum lewat sebuah batu sebesar kepalan yang dilemparkan penonton ke arahnya, justru kemudian dibingkai indah di rumahnya: “Saya akan membuktikan bahwa saya tidak akan dendam dan kalah dengan batu ini.”

Berbeda itu biasa.

Prambanan, 16 September 2015

Kill the DJ

Gegeran Istimewa

Gegeran Isimewa

Drama suksesi Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat akhir-akhir ini, meskipun jauh-jauh hari sudah terprediksi, tetap saja sangat memprihatinkan. Sebagai penulis anthem Jogja Istimewa –yang sesungguhnya ketika diciptakan tidak ada kaitannya dengan status keistimewaan, wajar jika kemudian banyak pihak yang meminta pendapat saya, namun saya menolak untuk berkomentar karena tidak tertarik untuk ikut campur.

Saat ini saya sedang menjalani laku tapa bisu (berdiam diri) dengan tidak menyanyikan lagu Jogja Istimewa, hingga batas waktu yang tidak ditentukan, sebagai wujud keprihatinan atas berbagai hal buruk yang terjadi di Yogyakarta. Bukan hanya melulu gegeran suksesi keraton, melainkan juga bentuk keprihatinan atas berbagai arah pembangunan di Yogyakarta yang tidak lagi memanusiakan manusianya dan menghormati sedulur sikep (alam raya sebagai saudara manusia). Saya membutuhkan waktu lama untuk memutuskan dan harus berdebat sebagai resiko kolektif Jogja Hip Hop Foundation, karena bagaimanapun lagu tersebut yang membesarkan kami, juga banyak job manggung datang hanya untuk kami membawakan lagu itu.

Bagi saya tidak penting siapa raja Yogyakarta kelak, laki-laki atau perempuan, juga tidak penting apakah perlu menjaga paugeran keraton atau mengikuti sabda raja. Karena ada yang jauh lebih penting dari pada siapa yang akan jadi raja Yogyakarta, yaitu “rakyat”.

Mengambil pelajaran dari kisah pewayangan “Petruk Dadi Ratu”, dijelaskan bahwa siapapun yang berkuasa tidak akan bisa hidup dan menghidupi kekuasaan itu tanpa dipangku dan diemong oleh rakyatnya. Jaman selalu berubah, penguasa selalu berganti, kekuasaan tidak langgeng, yang selalu abadi adalah rakyat lengkap dengan segala daya kehidupannya. Kraton, negara, kekuasaan, tidak akan berarti tanpa rakyat yang bekerja untuk menjaga eksistensinya.

Pertanyaannya sekarang, apakah saat ini Keraton Yogyakarta masih masih dibutuhkan dalam kehidupan riil rakyat Yogyakarta? Apakah masih layak disebut sebagai “keraton rakyat” yang selalu mengayomi? Atau hanya sekedar simbol istana tempat tinggal keluarga darah biru tanpa ada peran berarti lagi bagi kehidupan rakyatnya?

Pada masa kemerdekaan Negeri Yogyakarta disebut sebagai “jantung Indonesia” karena menghidupi republik yang masih bayi dengan segala sumber daya yang dimilikinya, disamping kekayaan keraton, juga rakyatnya yang istimewa dan rela berkorban demi negerinya. Dalam berbagai peristiwa bersejarah rakyat sudah teruji kebesarannya; kemerdekaan, reformasi, gempa, merapi, keistimewaan, semuanya bisa terjadi karena kehendak rakyat yang bergerak. Seperti kalimat Soekarno ketika pamitan dari Yogyakarta sebagai ibu kota republik sementara saat itu; “Yogyakarta istimewa karena orang-orangnya yang rela berkorban”.

Pada sebuah kesempatan Sri Sultan HBX pernah menerangkan filosofi angka Jawa kepada saya, bahwa angka tertinggi di Jawa itu adalah 9, 10 itu sama dengan 0, maka beliau sebagai sultan ke 10 harus memulai hal baru, meletakkan pondasi baru untuk masa depan Yogyakarta. Tapi entah kenapa, saat itu justru saya berpikir bahwa 0 juga bisa bermakna “habis” atau “selesai”. Tergambar dalam imajinasi saya Kraton Yogyakarta akan bubar. 5 orang anak yang semuanya perempuan adalah pertanda dari alam.

Saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah paragraf dari buku saya Java Beat in the Big Apple;

“…di sisi lain, lagu Jogja Istimewa seperti pisau bermata dua, dia adalah dukungan untuk akar rumput yang sangat mencintai negerinya, sekaligus liriknya adalah pepiling (pengingat) akan nilai-nilai yang harus dijunjung oleh masyarakat dan pemimpinnya, tidak terkecuali bagi rajanya. Waktu akan membuktikan hal-hal, generasi akan berganti, dan semuanya akan berjalan dengan sendirinya secara alamiah. Karya trilogi yang menggambarkan kecintaan kami kepada Yogyakarta adalah penanda akan perubahan-perubahan jaman; Jogja Istimewa (2010), Song of Sabdatama (2012), Jogja Ora Didol (2014). Sudah seharusnya rasa cinta tidak membuat kita buta akan kekurangannya.”

Kill the DJ

Penulis lagu Jogja Istimewa, lahir dan tinggal di Klaten

 

Janji Jewer Jokowi

Jewer JokowiSetelah pilihan dan kemenangan

Kami akan mundur menarik dukungan

Membentuk barisan parlemen jalanan

Mengawasi amanah kekuasaan 

Akhir-akhir ini, berbarengan dengan kisruh KPK vs Polri, banyak orang mengejek saya di sosial media tentang dukungan saya kepada Jokowi di pilpres 2014, tentu saja kebanyakan dilakukan oleh “barisan sakit hati” yang masih tidak terima kekalahan Prabowo di pilpres lalu. Bahkan dalam sebuah aksi #SaveKPK yang saya ikuti di Polda DIY, apa yang saya orasikan di tengah massa dikutip media dengan judul heboh tanpa konteks waktu; “Kill the DJ menarik dukungan untuk Jokowi”.

Saya merasa tersanjung dengan semua usaha “sia-sia” kalian. Namun dengan legowo saya akan memberi ruang buat kalian dalam memenuhi nafsu mengejek. Mungkin hanya itulah “kemewahan” yang tersisa dalam hidup kalian.

Cuplikan bait terakhir lirik lagu “Bersatu Padu Coblos No. 2” di atas, yang saya sumbangkan untuk kampanye Jokowi selama pilpres 2014 lalu menjelaskan semuanya. Bahwa sebelum memutuskan menjadi relawan pun, saya sudah mempunyai komitmen untuk “menarik dukungan” begitu Jokowi menjadi presiden. Tidak ada lagi “Relawan Jokowi” yang harum namanya itu, karena Jokowi adalah presiden bagi seluruh rakyat Indonesia. Janji tersebut bahkan sudah saya lunasi sejak sebelum pelantikan, dengan tidak pernah hadir di berbagai undangan acara sebelum pelantikan, juga tidak pernah memenuhi undangan untuk datang ke kantor transisi, bahkan saat pelantikan yang bersejarah itu pun justru saya menghindar karena saya sudah menduga akan terlalu banyak “banci tampil” menggendong kepentingan masing-masing.

Melalui tulisan ini dengan tegas saya katakan, bahwa saya tidak pernah menyesal telah menjadi bagian dari sejarah di Pilpres 2014 dengan mengalahkan Prabowo dan para pendukungnya. Alasan kenapa saya harus menghadang Prabowo bisa dibaca di tulisan-tulisan di blog ini sebelumnya.

Saya adalah seniman, bukan politisi, dan bukan simpastisan atau kader sebuah partai politik, karena saya tahu semua partai politik di Indonesia busuk, bahkan yang membawa nama agama pun. Begitu asas kepentingan lebih menguasai dari pada asas perjuangan, saya pasti akan mengundurkan diri. Integritas saya sebagai seniman tidak bisa ditukar oleh hal apapun, bahkan surga, apalagi hanya politik. Oleh karenanya saya tidak peduli dengan realitas politik yang dihadapi Jokowi sebagai presiden. Saya tidak pernah peduli bahwa PDI-P sebagai parpol pemenang pemilu tidak mampu membangun Koalisi Indonesia Hebat menguasai parlemen. Saya juga tidak mau tahu kerepotan Jokowi menghadapi tarik-menarik kepentingan antar elite parpol di seputar istana negara. Buat “barisan sakit hati” jangan jumawa, karena kalau Prabowo jadi presiden bagi-bagi kursi kekuasaan itu akan lancar tanpa hambatan. Meminjam kalimat kawan Pandji, beberapa kali “gegeran” di istana negara justru menunjukkan bahwa Jokowi berusaha bertahan dari berbagai gempuran “kepentingan-kepentingan” tersebut, bahkan oleh parpol pendukungnya sendiri.

Namun semua itu bukanlah urusan saya karena, sebagaimana rakyat yang lain, saya adalah rakyat yang sibuk membangun kehidupannya dengan segala kemandirian yang dimiliki. Semangat “teruslah bekerja, jangan berharap pada negara” tidak akan luntur hanya karena saya telah menjadi bagian dari kemenangan Jokowi. Tugas saya saat ini adalah memenuhi janji untuk “Menjewer Jokowi” sebagai bentuk kritik jika ada kebijakan-kebijakan yang mengingkari janjinya sebagai presiden; “Saya hanya akan tunduk kepada konstitusi dan kehendak rakyat Indonesia”.

Menjadi bagian “rakyat tidak jelas” yang mendukung #SaveKPK adalah perwujudan dari komitmen “Menjewer Jokowi” tersebut. Namun sebelum fenomena Jokowi muncul pun saya sudah melakukannya sejak “Cicak Nguntal Boyo” 2009. KPK dengan segala sumber daya yang minim dan serangan yang bertubi-tubi, tetaplah lembaga yang paling bisa diandalkan saat ini, oleh karenanya buat saya, KPK sangat layak untuk dibela. Benar, saya setuju banyak yang perlu dibenahi di KPK, tapi dengan tindakan kriminalisasi terus-menerus terhadap KPK hanya akan membuat semakin banyak “rakyat tidak jelas” dengan segala “cinta” untuk “Indonesia Raya” turun tangan membelanya. Cinta itulah yang membuat mereka bergerak, sebagaimana cinta menggerakkan mereka untuk mengantarkan Jokowi hingga istana negara.

Itu kenapa ketika kami menggelar konser #GropyokanKorupsi di Hari Anti Korupsi, 9 Desember 2014 lalu, kami memilih tema “Korupsi Adalah Kita” sebagai plesetan “Jokowi adalah Kita”, di mana banyak eks. relawan Jokowi memprotesnya, hahaha, semoga sekarang kalian bisa paham dan mampu mengejek diri sendiri. Korupsi memang ada di sekitar kita dan kita harus berperang! Pemberantasan korupsi di Indonesia tidak akan pernah berhasil tanpa komitmen kuat dari kepala negara, segala pernyataan normatif yang biasa-biasa saja dari Jokowi dalam kisruh Pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri yang berbuntut pada penangkapan Bambang Widjojanto dan penetapan sebagai tersangka itu sungguh sangat mengecewakan.

Janganlah menggali kuburanmu sendiri !

Jadilah Presiden Rakyat!

Jokowi mau mendengarkan saya berbicara
Kenangan ketika pertama kali kita bertemu mendengarkan draft lagu “Bersatu Padu Coblos No.2”  – 2 Juni 2014

Dear Bapak Jokowi, Aku menulis surat ini di atas pesawat yang membosankan dalam perjalananku ke konferensi Art Asia Council di Tokyo, Jepang, pasti bapak tidak membayangkan bahwa seorang “rapper kampung” sepertiku bisa diundang untuk perhelatan-perhelatan semacam ini. Perlu bapak mengerti, bahwa dalam kerja kesenianku, peran negara sangat minim, untuk tidak dibilang nihil, meskipun sudah ada Menparekraf dan Dana Keistimewaan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tapi aku tidak akan mengeluh karena aku hidup di tengah patani-petani miskin di desaku yang selalu tersenyum dan tetap menanam meskipun gagal panen. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang hebat dan paham akan proses untuk menjadi Indonesia. Pertama-tama, aku mohon maaf karena tidak bisa menghadiri Pesta Rakyat pelantikan bapak di tanggal 20 Oktober nanti, meskipun teman-teman relawan banyak yang berharap aku hadir di sana. Tapi seperti janji di laguku buat bapak, bahwa “setelah pilihan dan kemenangan, kami akan mundur menarik dukungan, membentuk barisan parlemen jalanan, mengawasi amanah kekuasaan”, maka aku pikir bukan hal penting untuk harus hadir di sana, meskipun sejujurnya aku ingin berada di sana untuk ikut memproklamasikan kekuatan rakyat.

Setelah pilpres kemarin, banyak sekali undangan baik secara resmi atau tidak resmi, mulai dari Kantor Transisi, PDI-P, hingga halal bi halal relawan Jokowi, tidak ada satu pun yang aku hadiri kecuali launching buku di Solo. Ada dua alasan kenapa aku tidak mau menghadiri undangan-undangan itu. Pertama, aku memang ingin dan sudah sepantasnya untuk mengambil jarak karena aku tidak tertarik dengan politik. Kedua, terlalu banyak pekerjaan yang menumpuk yang harus aku selesaikan setelah praktis aku tinggal untuk menjadi relawan Jokowi selama dua bulan masa pilpres 2014. Bahkan aku sampai harus mengundur launching buku Java Beat in the Big Apple (Cerita Perjalanan Java Hip Hop di USA) dan album Semar Mesem Romo Mendem karenanya. Itu kenapa begitu pilpres selesai aku jarang ngetwit, karena memang tidak cukup waktu untuk itu. Meskipun jika aku tetap bekerja sepanjang pilpres pun hasilnya pasti tidak akan maksimal. Karena selama pilpres setiap hari yang aku pikirkan hanya bagaimana caranya Jokowi menang. Ketika bangun tidur aku langsung memikirkan Jokowi, sepenjang hari aku hanya mengerahkan segala daya-upayaku untuk kemenangan Jokowi, hingga ketika kembali tidur lagi aku masih memikirkan Jokowi, bahkan ketika tidur pun aku bermimpi bagaimana memenangkan Jokowi. Mungkin kedengaran lebay, tapi teman-teman dekatku pasti sangat tahu, aku sudah terbiasa melakukan hal itu karena sering menjadi relawan ketika terjadi bencana. Pilpres 2014 kemarin aku anggap sebagai bencana dan aku harus memenuhi “panggilan mulia” sebagai relawan itu apapun resikonya. Bencana karena aku ingin cita-cita reformasi kembali ke jalurnya, bencana karena aku ingin demokrasi tidak kembali tersandra.

Foto kenangan ketika menggelar acara Jogja Istimewa untuk Jokowi-JK
Foto kenangan ketika menggelar acara Jogja Istimewa untuk Jokowi-JK – Alun-alun Utara Jogja 24 Juni 2014

Aku punya prinsip bahwa aku tidak boleh hanya mengeluh pada keadaan tanpa memberikan andil (kontribusi) untuk membangun mimpi dan harapan akan perubahan itu. Luar biasanya, saat ini besarnya harapan akan perubahan itu tertumpu pada diri Jokowi. Aku yakin bapak sudah tidak ingat jawabanku ketika bapak menelponku setelah pilpres untuk mengucapkan terima kasih, melalui surat ini, ijinkan aku mengingatkannya; “aku tidak butuh ucapan terima kasih, menjadi relawan Jokowi buatku adalah membantu diriku sendiri karena Jokowi adalah simpul bagi energi-energi positif yang kita miliki untuk Indonesia yang lebih baik”. Bapak Jokowi, malalui satu surat dari seorang yang pernah berjibaku menjadi relawanmu ini saja, tentu bapak sudah bisa membaca bahwa harapan yang dititipkan kepada Jokowi sangatlah besar. Aku yakin tentu bapak sudah sangat sadar, betapa besar harapan rakyat Indonesia itu. Aku juga yakin, bahwa bapak sudah tahu tidak akan mudah membenahi Indonesia, apalagi belum-belum bapak sudah dihadapkan pada realitas politik yang karut-marut. Tapi aku sangat yakin sebelumnya, bahwa dibalik tubuh kerempeng yang dibalut sopan-santun khas Jawa dan kerendahan hati itu, Jokowi adalah petarung sejati yang mengartikan kemenangan juga adalah penghormatan bagi mereka yang kalah. Bahwa bapak akan menghadapinya dengan “Cara Jokowi”; merangkul kawan dan lawan untuk bersama-sama berproses menjadi Indonesia.

Foto kenangan ketika mendadak harus membuka konser Salam Dua Jari - GBK 5 Juli
Foto kenangan ketika mendadak harus membuka konser Salam Dua Jari – GBK 5 Juli 2014

Pertemuan Jokowi dengan Prabowo membuktikan semuanya. Aku sangat bahagia dan bersyukur bahwa hal itu terjadi dan menghadirkan suka-cita yang hakiki bagi rakyat Indonesia. Semoga peristiwa itu menjadi tauladan untuk para pendukungmu, bahkan buat Megawati juga. Hihihi… Sebab kita memang harus bersama-sama bekerja untuk Indonesia. Terakhir, aku mengucapkan selamat atas pelantikan bapak sebagai presiden Indonesia, semoga bapak bisa mengemban tugas itu dengan baik, tetap amanah dan mendengar. Bapak tidak pandai pidato tidak apa-apa, karena Indonesia kekurangan pemimpin yang memiliki kemampuan mendengar dengan baik, dalam hal ini mendengar sanubari rakyatnya. Aku berjanji akan selalu turun tangan untuk memberi sumbangsih bagi Indonesia jika situasinya memanggil, tapi aku juga berjanji bahwa aku tidak akan segan “menjewer Jokowi” jika bapak tidak lagi mendengar suara rakyat.

Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat, Jadilah Presiden Rakyat!

Tokyo, 19 Oktober 2014 Marzuki Mohamad a.k.a Kill the DJ

Tetaplah Tersenyum dan Gembira

Kepada seluruh teman-teman relawan Jokowi-JK,

Satu hari sebelum tanggal 9 Juli 2014, dimana sejarah Indonesia akan kita tentukan bersama, ijinkanlah temanmu ini untuk menulis sebuah surat untuk semua teman-teman relawan Jokowi-JK di seluruh penjuru Nusantara.

Ingin rasanya aku mengenal kalian semua satu persatu, menjabat erat tangan-tangan kecil kalian yang telah rela bekerja keras tanpa pamrih, mengorbankan tenaga, pikiran, waktu, uang, dan segala daya-upaya untuk memenangkan Jokowi-JK di Pilpres 2014 ini. Mungkin, dengan segala keterbatasan, pada akhirnya kita tidak saling bertatap muka, tapi sesungguhnya kita telah bersatu-padu dalam irama dan energi yang sama untuk sebuah nilai yang kita perjuangkan; bahwa demokrasi tidak boleh lagi tersandra dan kekuasaan harus dikembalikan kepada yang berhak, yaitu kedaulatan rakyat.

Dalam perjalanan waktu yang sesungguhnya sangat singkat, kita warga biasa yang sebagian besar tak perduli partai politik, atau bahkan jijik, telah melewati banyak hal yang jauh diluar perkiraan dan (mungkin) kemampuan kita, karena ternyata yang kita hadapi adalah kejahatan demokrasi yang canggih dengan segala strategi tingkat tinggi dan skenarionya. Kita kaget dengan berbagai macam fitnah dan adu domba, kita tidak paham apa itu istilah “operasi senyap”, kita terkejut dengan berbagai macam intimidasi dan provokasi. Benar ternyata, dalam meraih tujuan keterbatasan orang baik akan tetap menggunakan cara-cara baik, sementara orang jahat akan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Kita masih punya malu, harga diri, dan martabat. Sementara lawan kita, jangankan malu, bahkan mereka bisa melampaui kuasa Tuhan di bumi dengan segala fatwa dan cap.

Bahwa kegembiraan politik yang didengungkan Jokowi yang telah melahirkan gelombang kreatifitas dan aksi simpatik yang bergairah itu, ternyata harus dihadapkan dengan berbagai bentuk kejahatan demokrasi yang berlangsung terus menerus dan sistematis. Tentu kita berhak kecewa dengan proses hukum Obor Rakyat, tentu kita berhak gemas dengan berbagai laporan penyebaran politik uang di seluruh penjuru tanah air, tentu kita berhak sedih dengan berbagai laporan bahwa ada aparat dan pegawai institusi pemerintahan ikut terlibat. Yang paling tidak bisa kita terima, tentu kita berhak marah karena negara yang kita biayai dengan pajak kita hanya diam atas segala pelanggaran yang telah mencederai demokrasi itu. Masih banyak lagi berbagai kasus yang telah dan akan terus-menerus menguji mental kita untuk membuat benteng keteguhan kita bisa saja bobol kemudian terpancing. Belakangan, kita yang lugu ini, tersadar bahwa “terpancing” itulah yang diharapkan dari strategi mereka.

Kita hanyalah manusia-manusia biasa dengan segala keterbatasannya, juga bermacam-macam karakternya. Seberapa pun kuatnya kita menjunjung tinggi akal sehat dan hati nurani, ketika ujian datang bertubi-tubi, tetaplah kita hanyalah manusia dengan segala keterbatasan itu.  Ada yang tetap kalem dengan kampanye adem, ada yang menangis dan memanjatkan doa, ada yang membalas fitnah dengan mengungkapkan fakta-fakta negatif kubu Prabowo-Hatta, ada juga yang malah tersulut dan melampiaskan emosinya.

Kenyataan yang paling menyedihkan adalah bahwa berbagai macam fitnah dan adu domba itu telah memecah belah persaudaraan dan persatuan bangsa. Tentu saja itu bukan demokrasi sehat yang kita harapkan. Memang, harganya terlalu mahal jika sebuah kekuasaan harus diraih dengan cara-cara seperti itu. Tentu kita bersedih karena kita mencintai Indonesia. Tapi kita telah membuktikan bahwa kita tidak pernah menyerah karena kita adalah rakyat yang “turun gunung” untuk membersihkan politik yang kotor.

Meminjam kalimat maklumat Jokowi-JK di GBK 5 Juli lalu; kita telah dihantam berbagai macam fitnah, tapi kita tetap tidak tumbang, karena kita bekerja tulus untuk Indonesia, kita adalah penyala harapan, kita berdemokrasi untuk menyelesaikan masalah bukan menambah masalah. Saya sendiri datang dengan niat tulus dan kegembiraan, menulis lagu dengan sepenuh hati di mana bait-bait terakhir tertulis kalimat “menang tak jumawa, kalah lapang dada, salam damai untuk Indonesia”, tapi disaat bersamaan saya bukanlah seorang yang hanya akan tinggal diam jika kecurangan dan kejahatan demokrasi terus terjadi.

Teman-teman, tinggal selangkah lagi, mari kita amanahkan suara kita untuk “kemenangan rakyat” pada 9 Juli. Kita tongkrongi TPS seharian dan kita lawan segala bentuk kecurangan dan kejahatan. Kita buktikan kalimat populer “rakyat bersatu tak bisa dikalahkan” adalah benar adanya. Apapun yang terjadi, kita telah bersama dan akan selalu bersama menyuarakan kebenaran. Kita akan berjalan seiring dengan langkah kaki Jokowi yang gagah-berani dan kita pantas berbangga atas segala sumbangsih yang telah kita lakukan.

Menjadi relawan Jokowi bukan berarti kita membantu Jokowi, tapi kita membantu diri kita sendiri untuk cita-cita perubahan. Menjadi relawan Jokowi bukan berarti kita butuh ucapan terima kasih untuk semua jerih-payah yang sudah kita usahakan, justru kita harus berterima kasih kepada Jokowi karena rela menjadikan dirinya simpul dari energi-energi positif yang kita miliki untuk Indonesia. Jokowi bukan Nabi (tapi Prabowo juga bukan macan), melainkan manusia biasa sama seperti kita. Jokowi adalah Kita karena Kita adalah satu kesatuan dalam wujud Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya rakyat dan pemimpinnya). Ratu adalah rakyat yang bersatu, bukan Raja yang memerintah, itulah konsep Ratu Adil sesungguhnya. Inilah kehendak jaman, karena betapapun kita berusaha mewujudkannya, segalanya tidak akan terjadi tanpa seijin alam raya.

Kita memang hanya relawan, yang tumbuh subur secara organik tanpa sebuah garis komando, karena kita memang bukan “tentara” bayaran. Tapi kita telah patungan untuk menciptakan gelombang yang sangat besar yang akan menjadi tsunami yang bisa menggulung dan menabrak apapun yang ada di depan kita. Teman-teman, meskipun tidak akan pernah ada yang sempurna, tapi kita telah berusaha hingga batas yang kita mampu, dan kita pantas berbangga untuk itu, sebuah alasan yang sangat cukup untuk kita tetap tersenyum dan gembira, karena apapun yang terjadi, sesungguhnya ibu pertiwi mengamini ketulusan dan kebersamaan kita.

Salam Dua Jari !

 

Prambanan, 8 Juli 2014

Marzuki Mohamad a.k.a Kill the DJ

Pengungsi Sinabung dan Pilpres

Marhaban Ya Ramadhan; Sebuah Masjid yang runtuh di lereng Sinabung. Juni 2014
Marhaban Ya Ramadhan; Sebuah Masjid yang runtuh di lereng Sinabung. Juni 2014

Setelah tiga hari safari keliling ke beberapa kota untuk menjadi relawan Jokowi. Semalam aku tiba di rumah hampir tengah malam. Di perjalanan, aku membaca beberapa berita tentang gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatra Utara, kembali mengalami erupsi dengan luncuran material dan awan panas. Ingatanku kembali ke Tanah Karo, di mana 4 bulan lalu aku pergi ke sana untuk membantu teman-teman relawan (bukan relawan capres) Karang Taruna Tanah Karo dalam mendampingi ribuan pengungsi melalui dana yang kami kumpulkan dalam konser amal #GugurGunung (Jogja) dan #HeartofSinabung (Bali). Selalu ada persahabatan yang tak akan lekang dimakan waktu setelah kerja-kerja kemanusiaan demikian. Maka, sesampainya di rumah, hal pertama yang aku lakukan adalah mencoba menelpon teman-teman relawan di Tanah Karo untuk mendapatkan detail erupsi, kabar, dan kemungkinan yang bisa aku lakukan. Tapi telponku tidak diangkat, mungkin karena mereka sedang sibuk-sibuknya membantu pengungsi.

Paginya, setalah bangun pukul 05:30, aku kembali mencoba telpon. Bakat Setiawan, pemuda asal Boyolali dan telah 10 bulan menjadi relawan di Sinabung, mengangkat telponku dan bercerita. Benar terjadi erupsi dan beberapa penduduk desa harus diungsikan dan tadi malam mereka terlibat mengawal proses pengungsian tersebut. Namun cerita yang lebih memprihatinkan adalah, setelah hampir setahun erupsi Sinabung, ribuan pengungsi masih belum mendapatkan kepastian, utamanya tentang relokasi karena desanya telah hancur terkubur oleh material vulkanik. Beberapa barak pengungsian kini malah dalam proses pembubaran dan pengungsi mendapat pesangon 2 s/d 3 juta rupiah dan pemerintah melepaskan diri tanggungjawab untuk kehidupan mereka. Terlebih sawah dan ladang mereka tetap belum bisa digarap. Akibatnya kemudian, mereka tidak menentu hidupnya, banyak pengungsi yang kemudian mendirikan tenda-tenda mandiri sebagai rumah tinggal di tepi-tepi jalan.

Di Sinabung, yang mayoritas beragama kristen, kami bekerja tanpa memandang agama atau pilihan presiden. Foto di atas diambil oleh teman relawan kristen, sebuah gambaran empati yang luar biasa karena ketika bulan suci ramadhan tiba, masjid yang 10 bulan lalu roboh masih tetap dalam kondisi hancur. Mereka tetap membantu penyelenggaraan ibadah puasa terutama lokasi tarawih untuk para pengungsi muslim. Sebuah contoh praktik nilai-nilai bhineka tunggal ika yang diajarkan oleh rakyat kecil di tengah lautan fitnah yang disebar oleh elite-elite politik dalam kampanye capres 2014 ini, dimana hal itu telah memecah belah dan mencederai persaudaraan bangsa.

Kondisi mereka sangat ironis jika dibandingkan dengan biaya kampanye dan uang trilyunan rupiah yang disebar di Pilpres 2014, saat ini jabatan dan kekuasaan memang lebih penting dari kemanusiaan. Saya kembali membuka rekening pribadi saya agar kembali bisa membantu saudara-saudara kita di Sinabung.

Merah Putih di Puncak Sinabung
Merah Putih di Puncak Sinabung, Maret 2014

Bantu kami Bantu Mereka; BCA KCU 0372216881 a/n Moh Marjuki – MANDIRI 900-00-1421586-8 a/n Moh Marjuki – Konfirmasi tranfes via mrzooki@yahoo.com, atau mention via twitter @killthedj

Prambanan, 30 Juni 2014

Marzuki Mohamad a.k.a Kill the DJ

Jangan Memilih Jokowi Karena Kill the DJ

jangan milih jokowi

Jangan Memilih Jokowi Karena Kill the DJ

Akhir-akhir ini banyak pertanyaan dari beberapa penggemar melalui twitter dan facebook, “kenapa mendukung Jokowi?”. Banyak penggemar berharap bahwa sebagai musisi atau seniman seharusnya aku netral. Tentu saja sebagian besar penggemar itu juga “sedulur” dan “bregada” dari Jogja Hip Hop Foundation yang selalu menemani kami dari panggung ke panggung. Karena tidak mungkin aku menjawab pertanyaan, melalui tulisan ini, ijinkan aku menyapa kalian semua dan menjelaskan alasan-alasan dengan bahasa yang paling sederhana agar kalian bisa memahami.

Bagi kalian yang berumur 30 tahun ke bawah, tentu tidak pernah benar-benar mengerti arti dari kebebasan berekspresi dan berpendapat, karena tidak merasakan susahnya jaman orde baru. Di jaman orde baru, kebebasan berekspresi dan berpendapat dikekang, jika kalian mengkritik negara atau pejabat, maka kalian akan dianggap subversif (pemberontak). Bahkan, jika kamu menjadi bagian dari aktivis yang memperjuangkan demokrasi, kamu bisa saja diculik atau mati dihilangkan. Sebuah unit yang dikenal dengan Tim Mawar dibawah asuhan Prabowo Subianto, yang saat ini maju menjadi calon presiden dibentuk untuk meredam para aktivis yang memperjuangkan demokrasi. Banyak teori konspirasi di belakang kasus ini, termasuk para atasan Prabowo yang dulu ikut menandatangani surat pemecatan dirinya. Aku memilih tidak mau berasumsi dan berspekulasi, tapi punya tuntutan yang jelas agar segala misteri berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia itu bagaimanapun harus diungkap untuk rasa keadilan, agar selamanya bangsa kita tidak dibangun dengan kebohongan demi kebohongan. Karena yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan (Gus Dur).

Sekarang, coba bandingkan dengan kenyamanan kita saat ini ketika menggunakan twitter atau facebook untuk sekedar berbagi, curhat, atau bahkan mengkritik negara, termasuk mention presiden kita @SBYudhoyono. Tapi yang harus kalian ingat, bahwa kebebasan kita hari ini diperjuangkan dengan darah dan nyawa oleh para aktivis mahasiswa. Sayangnya, setelah 16 tahun agenda reformasi, demokrasi kita tersandra oleh partai-partai politik busuk yang hanya peduli dengan kepentingan golongan mereka sendiri. Partai-partai politik yang sebagian besar lahir paska ’98 itu sudah tidak lagi peduli dengan cita-cita reformasi, juga sudah lupa dengan darah dan nyawa yang telah memperjuangkan demokrasi sehingga saat ini mereka bisa berpolitik secara bebas. Bahkan diktator Soeharto dihidupkan dari kubur dengan kalimat “isih penak jamanku to?” Omong kosong! Kebebasan itu seperti udara, kita baru terasa arti pentingnya ketika hal itu hilang dari kehidupan kita.

Dalam perjalanan Indonesia menjadi negara demokrasi sesungguhnya, di pemilihan presiden 2014 ini secara natural seleksi alam terjadi, mereka yang hanya mengamankan kepentingan kekuasaan berkumpul dalam satu koalisi bagi-bagi kursi yang mengusung Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa. Rekam jejak para elite partai-partai pendukungnya jauh dari kata bersih, tentu kalian masih ingat korupsi sapi PKS, lumpur Lapindo Bakrie Ketum Golkar itu, korupsi dana haji Surya Darma Ali, dan masih banyak lagi. Bahkan mereka menerima berbagai macam ormas keagamaan yang sering mencederai prinsip Bhineka Tunggal Ika dalam barisan koalisinya.

Sebagai pendukung Jokowi, aku tidak gelap mata, aku tahu eltie-elite partai di belakang Jokowi juga tidak sepenuhnya bersih. Bedanya hanya karena mereka menurut dengan cara bersih yang digunakan oleh Jokowi dan setuju untuk tidak bagi-bagi kekuasaan. Jokowi juga tidak mau disetir oleh parpol pendukungnya termasuk PDI-P yang mengusungnya menjadi calon presiden, itu kenapa Megawati menyerahkan semua keputusan koalisi dan cawapresnya kepada Jokowi.

Tidak ada yang sempurna dari semua kandidat calon presiden, Jokowi bukan nabi yang pantas didewakan, dia menempuh perjalanan sejengkal demi sejengkal untuk mengembalikan kedaulatan dan menyatukan sebuah tekad yang sama untuk Indonesia yang lebih baik. Jokowi adalah kehendak jaman, dan seperti biasa, pasti banyak kepentingan dan kuasa yang ingin mencegahnya dengan cara apa pun.

Seperti kita ketahui, di Indonesia politik uang sudah sedemikian dahsyat merusak demokrasi dan mentalitas warganya. Para politikus menghalalkan segala cara untuk berkuasa. Biaya politi yang sangat mahal itu tidak akan sebanding dengan gajinya ketika menjabat, akibatnya korupsi membabi-buta mereka lakukan ketika menjabat agar bisa balik modal. Belum lagi cukong-cukong yang memodali kampanye minta dimuluskan semua proyek-proyeknya. Selamanya ekonomi kerakyatan, kedaulatan pangan dan energi, tidak akan tercipta dari kondisi semacam itu.

Bagiku Jokowi adalah pencerahan dan antitesis karena tidak mau terjebak ke dalam lingkarang setan itu. Sebagaimana praktek demokrasi di negara maju, Jokowi juga mengajak rakyat pendukungnya untuk menyumbang dana kampanye dan penggunaannya dilaporkan secara terbuka. Kenapa demikian? Dia ingin mengajak masyarakat pendukungnya untuk terlibat dalam “kegembiraan politik” yang dia kampanyekan dengan patungan biaya kampanye, sehingga ketika menjabat sebagai presiden, dia mengembalikan amanahnya untuk melayani rakyat. Karena inti dari demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat. Apapun yang akan terjadi setelah pilpres, siapa pun yang menang, pasti banyak warga negara Indonesia yang akan bangga telah ikut memberikan sumbangsih bagi masa depan Indonesia yang lebih baik dengan berdiri di belakang Jokowi.

Aku berharap apapun pilihan kalian lakukanlah dengan cerdas dan mandiri, bukan karena citra, agama, partai, uang, dll. Citra? Selama 10 tahun kita pernah dipimpin oleh presiden yang dipilih karena citra ganteng, pandai bernyanyi, santun berpidato, dan kalian semua tahu apa hasilnya. Agama? Tidak ada hubungannya antara agama dan politik, karena agama mengajarkan kebaikkan dan cinta kasih, sementara politik mengajarkan sikap oportunis yang akan mengesampingkan nila-nilai agama. Partai? Semua partai busuk dan aku bukan simpatisan PDI-P, aku juga menghadang Prabowo ketika maju menjadi cawapres Megawati di pilpres 2009, bedanya saat itu media sosial belum seheboh sekarang ini. Uang? Politik uang adalah sumber dari segala sumber kejahatan penyelenggaraan negara sebagaimana sudah aku jelaskan di atas.

Jangan memilih Jokowi karena aku mendukungnya, tapi memilihlah karena kalian cerdas dan mau belajar sejarah bangsa ini. Jangan memilih Jokowi karena aku menjadi relawannya, tapi memilihlah karena kalian punya prinsip yang kuat dan tanpa rasa takut membela kebenaran! Jangan memilih Jokowi jika kalian ingin menjadi bagian dari fitnah, sebab fitnah adalah sikap yang tidak kstaria dan pecundang. Kecuali kalian rela menjadi bagian dari nilai-nilai yang busuk dan kotor itu. Sahabatku Anies Baswedan pasti setuju, karena jika kalian seorang muslim yang taat, kalian akan meneteskan air mata ketika diimami sholat oleh Jokowi dengan bacaan ayat-ayat Al Qur’an secara tartil. Bagaimana orang sebaik itu difitnah sedemikian rupa agar ketulusannya dibungkam.

Bagiku, jika dulu golput adalah perlawanan, sekarang golput adalah ketidak-pedulian, karena membiarkan kejahatan kembali berkuasa. Aku yang dulu golput permanen, kali ini dipaksa keadaan dan nurani untuk harus berpihak karena status negara dalam keadaan genting dan bahaya. Aku tidak mau demokrasi kembali tersandra oleh maling-maling dan aku dipaksa keadaan untuk turun tangan ikut memberikan andil menyelamatkannya.

Terakhir, dalam sebuah negara demokrasi yang kita sepakati (kecuali tidak sepakat), dukung-mendukung adalah hak setiap warga negara, sebagaimana golput juga hak yang dilindungi undang-undang. Tidak ada teori bahwa seorang seniman atau musisi harus netral atau golput, apalagi menganggap seniman netral sama dengan suci, itu omong kosong yang menggelikkan karena tidak ada orang suci di muka bumi ini. Pada pemilihan presiden di Amerika, Obama didukung oleh Jay-Z, Will-I-Am, Pearl Jam, Katty Perry, Tom Hanks, Steven Spielberg, dan masih banyak lagi. Mereka bukan hanya bernyanyi di panggung-panggung kampanye, tapi juga menyumbang dana dengan angka-angka yang fantastis, bukan seperti artis-artis Indonesia yang justru minta bayaran sangat tinggi ketika kampanye. Ironis ketika para musisi sering menuntut negara untuk melindungi industrinya tapi di saat bersamaan ikut merusak demokrasi itu sendiri.

Aku menjadi relawan Jokowi dan menyumbang lagu “Bersatu Padu Coblos No.2” secara sukarela tanpa bayaran. Sebab pada titik akhir, aku hanya ingin dikenang karena berkontribusi, bukan hanya pandai mengkritik. Pesanku, jadilah pemilih yang cerdas, mandiri, dan bermartabat.

Salam Revolusi Mental!

Marzuki Mohamad a.k.a Kill the DJ