Sedulur & Cerita Dibalik Lagu

Kembali

Setelah dua tahun, akhirnya secara kolektif Jogja Hip Hop Foundation (JHF) kembali mempunyai karya baru berupa single berjudul “Sedulur” lengkap dengan video musiknya. Tercatat JHF merilis karya terakhir berupa single “Jogja Ora Didol” (Juni, 2014), artinya sudah dua tahun lebih. Banyak cerita yang terjadi di rentang waktu itu yang tidak pernah dipublikasikan secara resmi dan hanya menjadi desas-desus. Melalui tulisan ini ijinkan saya bercerita secara personal.

Single Sedulur menandai kembalinya saya, Marzuki Mohamad alias Kill the DJ, yang sudah lebih dari setahun istirahat dari JHF karena tidak mau lagi menyanyikan lagu “Jogja Istimewa” dengan alasan; janji Keistimewaan Jogja untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sama sekali tidak terbukti, untuk tidak menggunakan kata bohong. Itu sebuah pilihan yang sulit buat personil JHF yang lain, sebab bagaimanapun lagu “Jogja Istimewa” adalah pencapaian luar biasa yang telah membawa kami sedemikian jauh, meskipun ketika lagu tersebut diciptakan tidak pernah dimaksudkan untuk tujuan politis, sekedar mengaktualisasi nilai-nilai tradisional yang berlaku di Yogyakarta yang kebetulan bertemu dengan momen keistimewaan yang memanas.

Begitulah saya, bisa sangat terlibat sekaligus segera mengambil jarak, sebagaimana di Pilpres 2014 di mana saya tercatat sebagai musisi pertama yang pembuat lagu dan video dukungan untuk kampanye Jokowi untuk kemudian segera mundur setelah Pilpres selesai. Hingga sekarang saya juga sama sekali belum pernah secara langsung berusaha mengakses Dana Keistimewaan ketika seniman/institusi lain banyak yang meributkannya. Pernah terjadi sebatas kompensasi atas kesalahan Dinas Kebudayaan menggunakan lagu JHF tanpa ijin copy right, tentu saja lagu kami bukan milik negara. Saya selalu yakin bisa menciptakan jalan sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Saya juga yakin banyak teman yang kecewa dengan kondisi Jogja paska Keistimewaan.

Karena tidak ada titik temu dalam menyikapi tidak maunya lagi saya menyayikan “Jogja Istimewa” dan hal tersebut adalah prinsip, saya memutuskan untuk sementara mundur dari JHF hingga waktu yang tidak ditentukan. Banyak cerita di mana order manggung batal gara-gara tidak ada nama Kill the DJ di JHF, tentu saja. Jarang manggung bisa jadi menjadi malapetaka buat personil JHF yang lain, saya peduli akan hal tersebut tapi saya tidak bisa berbuat banyak karena saya sedang tidak aktif.

Sementara buat saya pribadi, tidak manggung dan sangat memilih panggung bukan masalah, karena saya selalu berpikir tentang intelektual properti dan turunan kapitalisasinya atas apa yang sudah saya kerjakan. Sehingga saya tetap bisa memiliki penghasilan meskipun tidak manggung. Hal yang sulit saya terapkan bahkan buat teman-teman di JHF sendiri.

Salah satu contohnya, Balance tetap saja menjadi ghost producer untuk banyak musisi hip hop di Indonesia, bahkan hingga Singapura dan Malaysia, tanpa pernah mendapatkan right atas penjualan album dan right ketika lagu tersebut dimainkan karena semuanya beli putus.

thumb_img_0650_1024
Konser Amal #GugurGunung untuk #Aceh adalah konser resmi pertama saya kembali manggung bersama Jogja Hip Hop Foundation

Goyang Senggol; Album Yang Tidak Akan Pernah Dirilis

Sekitar tiga tahun lalu, awal 2013, saya membuat konsep hip hop dangdut untuk JHF, proyek album itu kami beri titel “Goyang Senggol”, tapi akhirnya konsep itu terbengkalai dengan berbagai alasan;

Pertama, bisa jadi personil JHF yang lain tidak berani mengambil resiko atau tidak tertarik dengan konsep hip hop dangdut campursari yang saya gagas. Masalahnya hal tersebut tidak terungkap secara gamblang. Setelah sekian lama bekerja bareng, buat saya hal-hal seperti ini seharusnya bisa didiskusikan secara terbuka dari awal ketika konsep dirumuskan. Ketika “Goyang Senggol” mulai digodok di studio yang terjadi justru mlemplem tanpa semangat penciptaan yang besar, baru belakangan diketahui mereka tidak nyaman dengan konsep “Goyang Senggol” tersebut.

Kedua, tidak semua orang memiliki visi dan mampu memperjuangkannya. Saya sudah memprediksi tiga tahun yang lalu, sementara buat personil JHF yang lain mungkin baru-baru ini saja bengong melihat fenomena NDX. Tentu saja saya tidak ingin membawa JHF menjadi seperti NDX. Dari sudut pandang pribadi, konsep “Goyang Senggol” adalah creative refreshment setelah sekian lama JHF dikenal dengan lirik dan musik “adiluhung” juga lirik-lirik yang ditulis Sindhunata di album “Semar Mesem – Rama Mendhem”. Ada titik di mana musisi tidak mampu membuat karya lebih bagus lagi, kemudian penggemar kecewa dengan album baru, untuk kemudian kembali puas dengan album berikutnya. 

Ketiga, semua personil JHF mendekati umur 40, jika memang benar bahwa life begins at forty, mungkin teman-teman sedang bimbang dengan pilihan antara terus bermusik atau pindah haluan. Atau menyikapi hip hop sebagai samben alias hobby atau kerja sampingan. Akhir 2015, Anto Gantaz pernah pamit dari JHF karena diwarisi tanggungjawab bisnis keluarganya. Meskipun sekitar lima bulan setelahnya dia kembali aktif di JHF. Sementara Mamox hidup dan matinya oleh dan untuk hip hop, artinya ada soal totalitas yang sebenarnya tidak sejalan. Determinasi yang saya miliki tidak akan berjalan maksimal dengan kondisi demikian.

Karena menemui jalan buntu, pada akhirnya saya menyulap konsep “Goyang Senggol” menjadi album “Kewer-Kewer” bersama Libertaria, unit elektronika yang sudah lama saya gagas bersama Balance. Dan proyek “Kewer-Kewer” benar-benar saya sikapi sebagai refreshing bersama teman-teman kolaborator; Glenn Fredly, Farid Stevy, Paksi Raras, Heruwa, Riris Arista, Brodod, dll. Bersama Libertaria saya juga merilis single “Ora Minggir Tabrak” untuk AADC2, “Lebaran”, dan “Together We Are More” bekerjasama dengan Guinness. Saya dan Balance menyikapi Libertaria adalah kanal untuk hal-hal yang tidak mungkin dikerjakan bareng JHF.

Sayangnya saya harus mengurangi intensitas kerja karena saya mengalami kecelakaan yang mengakibatkan otot ACL Ligamen saya putus, saya harus menjalani operasi layaknya atlet dan tidak bisa berjalan normal selama berbulan-bulan.

Dedikasi & Determinasi

Selama rentang waktu dua tahun itu, kami juga mengalami manajeman yang berantakan. Pada Juni 2015, Dita, manajer JHF, kami berhentikan karena terlalu sibuk dengan pekerjaan lain di luar JHF, di mana itu membuat kinerja manajemen kami tidak berjalan dengan baik dan penjualan merchandise terpaksa kami hentikan. Tapi hal-hal tidak bisa dinilai di permukaan saja, segalanya ada sebab dan akibat.

Sebelumnya di berbagai kesempatan, Dita sudah berulangkali mengeluhkan bahwa personil JHF tidak cukup berdedikasi atas profesinya sebagai musisi, hal yang membuat dia kehilangan semangat dan tidak bisa lagi bekerja sepenuh hati seperti pertama kali bekerja untuk JHF. Saya membenarkan hal tersebut. Bakat tidak akan menjadi apa-apa tanpa dedikasi, di mana hal itu menuntut pengorbanan dan determinasi. Seberapa besar kita berjuang itulah hasil yang akan didapatkan. Jika setengah-setengah hasilnya juga akan setengah-setengah.

Buat saya, sama sekali tidak penting berdebat siapa yang bisa ngerap paling bagus, bahkan berulang kali saya secara gamblang menyatakan di berbagai media interview, bahwa rap skill saya paling buruk dibandingkan personil JHF yang lain. Saya perlu rutin berolahraga dan latihan vokal setiap hari untuk bisa mempunyai energi dan karakter seperti di single “Ora Minggir Tabrak”. Sementara yang lain mungkin bakatnya sudah bawaan dari lahir. Tapi faktor keberhasilan bukan terletak pada skill dan bakat, sebab musik bagus saja tidak akan pernah cukup, banyak turunan pekerjaan yang lain yang menjadi penentu keberhasilan setelah musik diciptakan.

Bagaimanapun Dita adalah teman kerja saya dengan standar yang paling tinggi bahkan jika dibandingkan dengan personil JHF yang lain. Segala hal bisa dibicarakan meskipun juga sering berantem. Setelah dia berhenti dari manajeman JHF, saya tetap sering bekerja dengannya untuk proyek-proyek khusus di luar JHF.

Radjapati Mengundurkan Diri

Single “Sedulur” juga manandai keluarnya Lukman Hakim a.k.a Radjapati, tepatnya terjadi di pertengahan Ramadhan 2016 lalu. Alasannya sangat personal, yaitu ajaran agama membatasi dirinya, sementara bagi yang lain agama adalah urusan masing-masing. Masalahnya bukan ajaran agama seperti apa yang kita anut, melainkan jika sudah menghambat kerja secara kolektif maka harus dibicarakan dalam koridor profesional. Sebuah tuntutan yang sulit diwujudkan bagi karakter personil JHF lain yang “nJawani”, hingga akhirnya pada suatu malam dengan susah payah kami mampu membicarakannya, hasilnya Lukman Hakim memilih untuk mundur dari JHF dan kami harus bisa menghargai pilihan tersebut.

Di sisi lain, keluarnya Lukman Hakim saya akui sebagai salah satu syarat bagi saya untuk sudi kembali memberikan energi dan memikirkan JHF. Mungkin kedengaran kejam, tapi secara profesional sama sekali tidak. Di umur 40 saya sudah tidak rela menghabiskan energi untuk membela sebuah unit tanpa dedikasi, yang lebih penting lagi tidak berintegritas, dan yang jauh lebih penting dari semua itu adalah pertemanan yang hangat tanpa rasa canggung.

Pada suatu malam saya berdiskusi mendalam dengan Antok, tentu saja dia adalah kompatriotnya Lukman di Rotra, saya ungkapkan bahwa saya lebih besar dari semua yang sudah kita capai bersama, tapi kenapa saya tetap mau memikirkan JHF? Dedikasi bisa dijadikan nomer sekian, buat saya tidak mengapa jika teman-teman menyikapi hip hop sebagai samben, saya tetap bisa membelanya, tapi integritas dan pertemanan tidak bisa ditawar.

Peristiwa demi peristiwa di JHF selama dua tahun terakhir membuat saya terngiang bagaimana Erix Soekamti mulai giat belajar membuat video ketika saat itu dia masih kagum dengan film dokumenter Hiphopdiningrat (2009) yang dirilis JHF, sebuah film dokumenter panjang pertama tentang grup musik yang dirilis di Indonesia, dan sekarang silahkan menilai sendiri profil Erix seperti apa.

Sebenarnya saya tipe orang yang tidak peduli dengan urusan-urusan pribadi ketika bekerja, tapi di sisi lain, sebuah kolektif musik semacam JHF seharusnya bisa seperti keluarga. Hal yang sulit diwujudkan jika segalanya tidak bisa dibicarakan secara terbuka dan tidak punya waktu untuk ‘nakal’ bareng. Harus diakui itulah yang terjadi di JHF hingga akhirnya kami harus bersusah payah untuk membongkarnya. Memang banyak kasus di generasiku, orang Jogja bingung memisahkan relasi teman dan kerja.

Penciptaan Sedulur

Sengaja saya tidak serta merta mengajak JHF membuat karya bareng begitu konsolidasi internal dilalui dengan sangat melelahkan. Di tengah kesibukan pribadiku yang saat itu padat, saya lebih sering ngajak bermain, nongkrong bareng sembari membicarakan hal-hal yang tidak penting, hingga chemistry-nya kembali ketemu, supaya ketika nanti masuk studio sudah tidak ada lagi beban personal di antara kami. Semangat idealnya adalah “reborn”, JHF benar-benar terlahir kembali. Cita-cita berkarya lewat hip hop berbahasa Jawa sampai tua kembali menyala.

Setelah empat bulan, kami akhirnya masuk studio dengan banyak peralatan baru yang di-investasikan, hingga saya belanja peralatan audio visual baru untuk bisa menggarap video kapan saja. Saya mengibaratkan situasi ini seperti hipster kekinian yang membeli banyak apparel sebagi mood booster ketika memulai niat berolahraga. Semoga saja tidak patah semangat setelah lari pertama kali dan esoknya mendapati badanya remuk pegel-pegel karena ototnya kaget.

Lagu “Sedulur” yang sudah sejak lama kami impikan akhirnya bisa kami garap, seharusnya lagu tersebut diciptakan untuk para penggemar kami yang menamakan dirinya “Sedulur” sebagai bentuk ucapan terima kasih atas dukunganya selama ini, juga permohonan maaf dari kami untuk para penggemar setalah sekian lama tidak merilis karya baru. Atas pertimbangan situasi terkini di mana intoleransi semakin memanas, lagu tersebut akhirnya ditulis untuk kalangan yang lebih luas.

Di sini lah alasan kenapa integritas bisa lebih penting dari dedikasi? Buat apa kita ngomong hal-hal besar jika kita tidak bisa menerapkannya di lingkungan terkecil kita. Kita tidak bisa menyuarakan anti korupsi sementara sebenarnya kita korup. Kita tidak bisa bicara toleransi sementara sesungguhnya kita intoleran. Sebelum menunjuk dan menghakimi orang lain, lebih baik melihat dan menceritakan diri-sendiri. Integritas adalah nilai yang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun, termasuk seberapa uang yang bisa kita dapat.

Maka, sebagaimana karakter semua video klip JHF yang selalu semi dokumenter sederhana, kami menggarap video “Sedulur” dengan setting perayaan Natal. Antok dan Mamox terlahir sebagai Katolik, sementara Balance dan saya muslim, kami tidak pernah punya masalah dengan hal itu. Termasuk saling mengucapkan di hari raya masing-masing. Ditambah kerabat dan teman-teman yang biasa bekerja bareng kami, jadilah video klip “Sedulur” seperti yang sudah kami publikasikan di Youtube tersebut. Silahkan menilai sendiri, semoga bermanfaat bagi siapa saja yang melihat dan mendengarnya.

It’s Alright To Be Wrong

Sekali lagi tulisan ini adalah sudut pandang personal saya, tapi bagaimana pun JHF memiliki penggemar dan sudah seharusnya mempunyai tanggung jawab publik untuk mengabarkan semua hal yang terjadi. Sebagai pendiri kolektif JHF dan sebagaimana 13 tahun lalu saya bertanggungjawab secara penuh atas apa yang terjadi di JHF, maka hal-hal untuk sementara kembali saya kabarkan secara personal hingga manajemen kembali bekerja normal.

Setelah semua peristiwa yang kami lalui tersebut, kami berjanji untuk kembali sering menyapa melalui karya-karya kami yang khas. Tidak mengapa salah dan tersesat jika kemudian kita menemukan diri kita menjadi lebih baik. Membuat atau menciptakan sesuatu memang lebih mudah dari pada merawatnya.

Melalui tulisan ini saya juga mengumumkan tidak masalah kembali menyanyikan lagu “Jogja Istimewa” dengan tujuan untuk mengingatkan kembali nilai-nilai yang harus dijunjung di lagu tersebut terutama kepada para pejabat pemerintahan di DIY, dan yang lebih penting menuntut janji cita-cita keistimewaa untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

It’s alright to be wrong… dan tulisan ini sudah terlalu panjang meskipun masih banyak printilan cerita yang bisa disampaikan.

Terima kasih atas perhatiannya.

Salam Paseduluran

Kill the DJ

10 thoughts on “Sedulur & Cerita Dibalik Lagu”

  1. Selalu takjub dengan idealisme,ide,dan kreatifitas karya mas muh+JHF termasuk single terakhir ini..moco artikel blog iki dadi ngerti..Libertaria, JHF dan crito-crito liane.
    Tentang video klip enek mbak ganis e jugak..ngancani foto ro wedus, gunung kelud,kampanye jokowi sampai njenengan oprasi sikil d kancani..mbok kapan-kapan crito mas tentang mbak-mbak e ituh..nek wis paSEDULURan (nek sios)dadi garwo gawe karya juga yap,po minimal nulis di blog ben fansmu iki ngerti..ha2x..

  2. Sangat disayangkan sekali, mas Lukman Hakim aka Raja Pati keluar dari JHF. Pantes pas lihat di klip terakhir JHF saya sempat bertanya-tanya kayak ada yg kurang dari personil JHF. Dan memang benar setelah saya baca dari blog pribadi mas juki ternyata memang benar rajapati keluar dari JHF.
    Semoga tetep solid dan jangan bosan untuk berkarya mas.
    Salam!

  3. aku luwih seneng rungokne karyane samean mas, sejak sma 2013 nganti saiki ora bosen. Semoga personilnya adem ayem rukun lan kumpul maneh. matur nuwun.

Leave a comment