Tag Archives: Jogja Hip Hop Foundation

Sedulur & Cerita Dibalik Lagu

Kembali

Setelah dua tahun, akhirnya secara kolektif Jogja Hip Hop Foundation (JHF) kembali mempunyai karya baru berupa single berjudul “Sedulur” lengkap dengan video musiknya. Tercatat JHF merilis karya terakhir berupa single “Jogja Ora Didol” (Juni, 2014), artinya sudah dua tahun lebih. Banyak cerita yang terjadi di rentang waktu itu yang tidak pernah dipublikasikan secara resmi dan hanya menjadi desas-desus. Melalui tulisan ini ijinkan saya bercerita secara personal.

Single Sedulur menandai kembalinya saya, Marzuki Mohamad alias Kill the DJ, yang sudah lebih dari setahun istirahat dari JHF karena tidak mau lagi menyanyikan lagu “Jogja Istimewa” dengan alasan; janji Keistimewaan Jogja untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sama sekali tidak terbukti, untuk tidak menggunakan kata bohong. Itu sebuah pilihan yang sulit buat personil JHF yang lain, sebab bagaimanapun lagu “Jogja Istimewa” adalah pencapaian luar biasa yang telah membawa kami sedemikian jauh, meskipun ketika lagu tersebut diciptakan tidak pernah dimaksudkan untuk tujuan politis, sekedar mengaktualisasi nilai-nilai tradisional yang berlaku di Yogyakarta yang kebetulan bertemu dengan momen keistimewaan yang memanas.

Begitulah saya, bisa sangat terlibat sekaligus segera mengambil jarak, sebagaimana di Pilpres 2014 di mana saya tercatat sebagai musisi pertama yang pembuat lagu dan video dukungan untuk kampanye Jokowi untuk kemudian segera mundur setelah Pilpres selesai. Hingga sekarang saya juga sama sekali belum pernah secara langsung berusaha mengakses Dana Keistimewaan ketika seniman/institusi lain banyak yang meributkannya. Pernah terjadi sebatas kompensasi atas kesalahan Dinas Kebudayaan menggunakan lagu JHF tanpa ijin copy right, tentu saja lagu kami bukan milik negara. Saya selalu yakin bisa menciptakan jalan sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Saya juga yakin banyak teman yang kecewa dengan kondisi Jogja paska Keistimewaan.

Karena tidak ada titik temu dalam menyikapi tidak maunya lagi saya menyayikan “Jogja Istimewa” dan hal tersebut adalah prinsip, saya memutuskan untuk sementara mundur dari JHF hingga waktu yang tidak ditentukan. Banyak cerita di mana order manggung batal gara-gara tidak ada nama Kill the DJ di JHF, tentu saja. Jarang manggung bisa jadi menjadi malapetaka buat personil JHF yang lain, saya peduli akan hal tersebut tapi saya tidak bisa berbuat banyak karena saya sedang tidak aktif.

Sementara buat saya pribadi, tidak manggung dan sangat memilih panggung bukan masalah, karena saya selalu berpikir tentang intelektual properti dan turunan kapitalisasinya atas apa yang sudah saya kerjakan. Sehingga saya tetap bisa memiliki penghasilan meskipun tidak manggung. Hal yang sulit saya terapkan bahkan buat teman-teman di JHF sendiri.

Salah satu contohnya, Balance tetap saja menjadi ghost producer untuk banyak musisi hip hop di Indonesia, bahkan hingga Singapura dan Malaysia, tanpa pernah mendapatkan right atas penjualan album dan right ketika lagu tersebut dimainkan karena semuanya beli putus.

thumb_img_0650_1024
Konser Amal #GugurGunung untuk #Aceh adalah konser resmi pertama saya kembali manggung bersama Jogja Hip Hop Foundation

Goyang Senggol; Album Yang Tidak Akan Pernah Dirilis

Sekitar tiga tahun lalu, awal 2013, saya membuat konsep hip hop dangdut untuk JHF, proyek album itu kami beri titel “Goyang Senggol”, tapi akhirnya konsep itu terbengkalai dengan berbagai alasan;

Pertama, bisa jadi personil JHF yang lain tidak berani mengambil resiko atau tidak tertarik dengan konsep hip hop dangdut campursari yang saya gagas. Masalahnya hal tersebut tidak terungkap secara gamblang. Setelah sekian lama bekerja bareng, buat saya hal-hal seperti ini seharusnya bisa didiskusikan secara terbuka dari awal ketika konsep dirumuskan. Ketika “Goyang Senggol” mulai digodok di studio yang terjadi justru mlemplem tanpa semangat penciptaan yang besar, baru belakangan diketahui mereka tidak nyaman dengan konsep “Goyang Senggol” tersebut.

Kedua, tidak semua orang memiliki visi dan mampu memperjuangkannya. Saya sudah memprediksi tiga tahun yang lalu, sementara buat personil JHF yang lain mungkin baru-baru ini saja bengong melihat fenomena NDX. Tentu saja saya tidak ingin membawa JHF menjadi seperti NDX. Dari sudut pandang pribadi, konsep “Goyang Senggol” adalah creative refreshment setelah sekian lama JHF dikenal dengan lirik dan musik “adiluhung” juga lirik-lirik yang ditulis Sindhunata di album “Semar Mesem – Rama Mendhem”. Ada titik di mana musisi tidak mampu membuat karya lebih bagus lagi, kemudian penggemar kecewa dengan album baru, untuk kemudian kembali puas dengan album berikutnya. 

Ketiga, semua personil JHF mendekati umur 40, jika memang benar bahwa life begins at forty, mungkin teman-teman sedang bimbang dengan pilihan antara terus bermusik atau pindah haluan. Atau menyikapi hip hop sebagai samben alias hobby atau kerja sampingan. Akhir 2015, Anto Gantaz pernah pamit dari JHF karena diwarisi tanggungjawab bisnis keluarganya. Meskipun sekitar lima bulan setelahnya dia kembali aktif di JHF. Sementara Mamox hidup dan matinya oleh dan untuk hip hop, artinya ada soal totalitas yang sebenarnya tidak sejalan. Determinasi yang saya miliki tidak akan berjalan maksimal dengan kondisi demikian.

Karena menemui jalan buntu, pada akhirnya saya menyulap konsep “Goyang Senggol” menjadi album “Kewer-Kewer” bersama Libertaria, unit elektronika yang sudah lama saya gagas bersama Balance. Dan proyek “Kewer-Kewer” benar-benar saya sikapi sebagai refreshing bersama teman-teman kolaborator; Glenn Fredly, Farid Stevy, Paksi Raras, Heruwa, Riris Arista, Brodod, dll. Bersama Libertaria saya juga merilis single “Ora Minggir Tabrak” untuk AADC2, “Lebaran”, dan “Together We Are More” bekerjasama dengan Guinness. Saya dan Balance menyikapi Libertaria adalah kanal untuk hal-hal yang tidak mungkin dikerjakan bareng JHF.

Sayangnya saya harus mengurangi intensitas kerja karena saya mengalami kecelakaan yang mengakibatkan otot ACL Ligamen saya putus, saya harus menjalani operasi layaknya atlet dan tidak bisa berjalan normal selama berbulan-bulan.

Dedikasi & Determinasi

Selama rentang waktu dua tahun itu, kami juga mengalami manajeman yang berantakan. Pada Juni 2015, Dita, manajer JHF, kami berhentikan karena terlalu sibuk dengan pekerjaan lain di luar JHF, di mana itu membuat kinerja manajemen kami tidak berjalan dengan baik dan penjualan merchandise terpaksa kami hentikan. Tapi hal-hal tidak bisa dinilai di permukaan saja, segalanya ada sebab dan akibat.

Sebelumnya di berbagai kesempatan, Dita sudah berulangkali mengeluhkan bahwa personil JHF tidak cukup berdedikasi atas profesinya sebagai musisi, hal yang membuat dia kehilangan semangat dan tidak bisa lagi bekerja sepenuh hati seperti pertama kali bekerja untuk JHF. Saya membenarkan hal tersebut. Bakat tidak akan menjadi apa-apa tanpa dedikasi, di mana hal itu menuntut pengorbanan dan determinasi. Seberapa besar kita berjuang itulah hasil yang akan didapatkan. Jika setengah-setengah hasilnya juga akan setengah-setengah.

Buat saya, sama sekali tidak penting berdebat siapa yang bisa ngerap paling bagus, bahkan berulang kali saya secara gamblang menyatakan di berbagai media interview, bahwa rap skill saya paling buruk dibandingkan personil JHF yang lain. Saya perlu rutin berolahraga dan latihan vokal setiap hari untuk bisa mempunyai energi dan karakter seperti di single “Ora Minggir Tabrak”. Sementara yang lain mungkin bakatnya sudah bawaan dari lahir. Tapi faktor keberhasilan bukan terletak pada skill dan bakat, sebab musik bagus saja tidak akan pernah cukup, banyak turunan pekerjaan yang lain yang menjadi penentu keberhasilan setelah musik diciptakan.

Bagaimanapun Dita adalah teman kerja saya dengan standar yang paling tinggi bahkan jika dibandingkan dengan personil JHF yang lain. Segala hal bisa dibicarakan meskipun juga sering berantem. Setelah dia berhenti dari manajeman JHF, saya tetap sering bekerja dengannya untuk proyek-proyek khusus di luar JHF.

Radjapati Mengundurkan Diri

Single “Sedulur” juga manandai keluarnya Lukman Hakim a.k.a Radjapati, tepatnya terjadi di pertengahan Ramadhan 2016 lalu. Alasannya sangat personal, yaitu ajaran agama membatasi dirinya, sementara bagi yang lain agama adalah urusan masing-masing. Masalahnya bukan ajaran agama seperti apa yang kita anut, melainkan jika sudah menghambat kerja secara kolektif maka harus dibicarakan dalam koridor profesional. Sebuah tuntutan yang sulit diwujudkan bagi karakter personil JHF lain yang “nJawani”, hingga akhirnya pada suatu malam dengan susah payah kami mampu membicarakannya, hasilnya Lukman Hakim memilih untuk mundur dari JHF dan kami harus bisa menghargai pilihan tersebut.

Di sisi lain, keluarnya Lukman Hakim saya akui sebagai salah satu syarat bagi saya untuk sudi kembali memberikan energi dan memikirkan JHF. Mungkin kedengaran kejam, tapi secara profesional sama sekali tidak. Di umur 40 saya sudah tidak rela menghabiskan energi untuk membela sebuah unit tanpa dedikasi, yang lebih penting lagi tidak berintegritas, dan yang jauh lebih penting dari semua itu adalah pertemanan yang hangat tanpa rasa canggung.

Pada suatu malam saya berdiskusi mendalam dengan Antok, tentu saja dia adalah kompatriotnya Lukman di Rotra, saya ungkapkan bahwa saya lebih besar dari semua yang sudah kita capai bersama, tapi kenapa saya tetap mau memikirkan JHF? Dedikasi bisa dijadikan nomer sekian, buat saya tidak mengapa jika teman-teman menyikapi hip hop sebagai samben, saya tetap bisa membelanya, tapi integritas dan pertemanan tidak bisa ditawar.

Peristiwa demi peristiwa di JHF selama dua tahun terakhir membuat saya terngiang bagaimana Erix Soekamti mulai giat belajar membuat video ketika saat itu dia masih kagum dengan film dokumenter Hiphopdiningrat (2009) yang dirilis JHF, sebuah film dokumenter panjang pertama tentang grup musik yang dirilis di Indonesia, dan sekarang silahkan menilai sendiri profil Erix seperti apa.

Sebenarnya saya tipe orang yang tidak peduli dengan urusan-urusan pribadi ketika bekerja, tapi di sisi lain, sebuah kolektif musik semacam JHF seharusnya bisa seperti keluarga. Hal yang sulit diwujudkan jika segalanya tidak bisa dibicarakan secara terbuka dan tidak punya waktu untuk ‘nakal’ bareng. Harus diakui itulah yang terjadi di JHF hingga akhirnya kami harus bersusah payah untuk membongkarnya. Memang banyak kasus di generasiku, orang Jogja bingung memisahkan relasi teman dan kerja.

Penciptaan Sedulur

Sengaja saya tidak serta merta mengajak JHF membuat karya bareng begitu konsolidasi internal dilalui dengan sangat melelahkan. Di tengah kesibukan pribadiku yang saat itu padat, saya lebih sering ngajak bermain, nongkrong bareng sembari membicarakan hal-hal yang tidak penting, hingga chemistry-nya kembali ketemu, supaya ketika nanti masuk studio sudah tidak ada lagi beban personal di antara kami. Semangat idealnya adalah “reborn”, JHF benar-benar terlahir kembali. Cita-cita berkarya lewat hip hop berbahasa Jawa sampai tua kembali menyala.

Setelah empat bulan, kami akhirnya masuk studio dengan banyak peralatan baru yang di-investasikan, hingga saya belanja peralatan audio visual baru untuk bisa menggarap video kapan saja. Saya mengibaratkan situasi ini seperti hipster kekinian yang membeli banyak apparel sebagi mood booster ketika memulai niat berolahraga. Semoga saja tidak patah semangat setelah lari pertama kali dan esoknya mendapati badanya remuk pegel-pegel karena ototnya kaget.

Lagu “Sedulur” yang sudah sejak lama kami impikan akhirnya bisa kami garap, seharusnya lagu tersebut diciptakan untuk para penggemar kami yang menamakan dirinya “Sedulur” sebagai bentuk ucapan terima kasih atas dukunganya selama ini, juga permohonan maaf dari kami untuk para penggemar setalah sekian lama tidak merilis karya baru. Atas pertimbangan situasi terkini di mana intoleransi semakin memanas, lagu tersebut akhirnya ditulis untuk kalangan yang lebih luas.

Di sini lah alasan kenapa integritas bisa lebih penting dari dedikasi? Buat apa kita ngomong hal-hal besar jika kita tidak bisa menerapkannya di lingkungan terkecil kita. Kita tidak bisa menyuarakan anti korupsi sementara sebenarnya kita korup. Kita tidak bisa bicara toleransi sementara sesungguhnya kita intoleran. Sebelum menunjuk dan menghakimi orang lain, lebih baik melihat dan menceritakan diri-sendiri. Integritas adalah nilai yang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun, termasuk seberapa uang yang bisa kita dapat.

Maka, sebagaimana karakter semua video klip JHF yang selalu semi dokumenter sederhana, kami menggarap video “Sedulur” dengan setting perayaan Natal. Antok dan Mamox terlahir sebagai Katolik, sementara Balance dan saya muslim, kami tidak pernah punya masalah dengan hal itu. Termasuk saling mengucapkan di hari raya masing-masing. Ditambah kerabat dan teman-teman yang biasa bekerja bareng kami, jadilah video klip “Sedulur” seperti yang sudah kami publikasikan di Youtube tersebut. Silahkan menilai sendiri, semoga bermanfaat bagi siapa saja yang melihat dan mendengarnya.

It’s Alright To Be Wrong

Sekali lagi tulisan ini adalah sudut pandang personal saya, tapi bagaimana pun JHF memiliki penggemar dan sudah seharusnya mempunyai tanggung jawab publik untuk mengabarkan semua hal yang terjadi. Sebagai pendiri kolektif JHF dan sebagaimana 13 tahun lalu saya bertanggungjawab secara penuh atas apa yang terjadi di JHF, maka hal-hal untuk sementara kembali saya kabarkan secara personal hingga manajemen kembali bekerja normal.

Setelah semua peristiwa yang kami lalui tersebut, kami berjanji untuk kembali sering menyapa melalui karya-karya kami yang khas. Tidak mengapa salah dan tersesat jika kemudian kita menemukan diri kita menjadi lebih baik. Membuat atau menciptakan sesuatu memang lebih mudah dari pada merawatnya.

Melalui tulisan ini saya juga mengumumkan tidak masalah kembali menyanyikan lagu “Jogja Istimewa” dengan tujuan untuk mengingatkan kembali nilai-nilai yang harus dijunjung di lagu tersebut terutama kepada para pejabat pemerintahan di DIY, dan yang lebih penting menuntut janji cita-cita keistimewaa untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

It’s alright to be wrong… dan tulisan ini sudah terlalu panjang meskipun masih banyak printilan cerita yang bisa disampaikan.

Terima kasih atas perhatiannya.

Salam Paseduluran

Kill the DJ

Gegeran Istimewa

Gegeran Isimewa

Drama suksesi Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat akhir-akhir ini, meskipun jauh-jauh hari sudah terprediksi, tetap saja sangat memprihatinkan. Sebagai penulis anthem Jogja Istimewa –yang sesungguhnya ketika diciptakan tidak ada kaitannya dengan status keistimewaan, wajar jika kemudian banyak pihak yang meminta pendapat saya, namun saya menolak untuk berkomentar karena tidak tertarik untuk ikut campur.

Saat ini saya sedang menjalani laku tapa bisu (berdiam diri) dengan tidak menyanyikan lagu Jogja Istimewa, hingga batas waktu yang tidak ditentukan, sebagai wujud keprihatinan atas berbagai hal buruk yang terjadi di Yogyakarta. Bukan hanya melulu gegeran suksesi keraton, melainkan juga bentuk keprihatinan atas berbagai arah pembangunan di Yogyakarta yang tidak lagi memanusiakan manusianya dan menghormati sedulur sikep (alam raya sebagai saudara manusia). Saya membutuhkan waktu lama untuk memutuskan dan harus berdebat sebagai resiko kolektif Jogja Hip Hop Foundation, karena bagaimanapun lagu tersebut yang membesarkan kami, juga banyak job manggung datang hanya untuk kami membawakan lagu itu.

Bagi saya tidak penting siapa raja Yogyakarta kelak, laki-laki atau perempuan, juga tidak penting apakah perlu menjaga paugeran keraton atau mengikuti sabda raja. Karena ada yang jauh lebih penting dari pada siapa yang akan jadi raja Yogyakarta, yaitu “rakyat”.

Mengambil pelajaran dari kisah pewayangan “Petruk Dadi Ratu”, dijelaskan bahwa siapapun yang berkuasa tidak akan bisa hidup dan menghidupi kekuasaan itu tanpa dipangku dan diemong oleh rakyatnya. Jaman selalu berubah, penguasa selalu berganti, kekuasaan tidak langgeng, yang selalu abadi adalah rakyat lengkap dengan segala daya kehidupannya. Kraton, negara, kekuasaan, tidak akan berarti tanpa rakyat yang bekerja untuk menjaga eksistensinya.

Pertanyaannya sekarang, apakah saat ini Keraton Yogyakarta masih masih dibutuhkan dalam kehidupan riil rakyat Yogyakarta? Apakah masih layak disebut sebagai “keraton rakyat” yang selalu mengayomi? Atau hanya sekedar simbol istana tempat tinggal keluarga darah biru tanpa ada peran berarti lagi bagi kehidupan rakyatnya?

Pada masa kemerdekaan Negeri Yogyakarta disebut sebagai “jantung Indonesia” karena menghidupi republik yang masih bayi dengan segala sumber daya yang dimilikinya, disamping kekayaan keraton, juga rakyatnya yang istimewa dan rela berkorban demi negerinya. Dalam berbagai peristiwa bersejarah rakyat sudah teruji kebesarannya; kemerdekaan, reformasi, gempa, merapi, keistimewaan, semuanya bisa terjadi karena kehendak rakyat yang bergerak. Seperti kalimat Soekarno ketika pamitan dari Yogyakarta sebagai ibu kota republik sementara saat itu; “Yogyakarta istimewa karena orang-orangnya yang rela berkorban”.

Pada sebuah kesempatan Sri Sultan HBX pernah menerangkan filosofi angka Jawa kepada saya, bahwa angka tertinggi di Jawa itu adalah 9, 10 itu sama dengan 0, maka beliau sebagai sultan ke 10 harus memulai hal baru, meletakkan pondasi baru untuk masa depan Yogyakarta. Tapi entah kenapa, saat itu justru saya berpikir bahwa 0 juga bisa bermakna “habis” atau “selesai”. Tergambar dalam imajinasi saya Kraton Yogyakarta akan bubar. 5 orang anak yang semuanya perempuan adalah pertanda dari alam.

Saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah paragraf dari buku saya Java Beat in the Big Apple;

“…di sisi lain, lagu Jogja Istimewa seperti pisau bermata dua, dia adalah dukungan untuk akar rumput yang sangat mencintai negerinya, sekaligus liriknya adalah pepiling (pengingat) akan nilai-nilai yang harus dijunjung oleh masyarakat dan pemimpinnya, tidak terkecuali bagi rajanya. Waktu akan membuktikan hal-hal, generasi akan berganti, dan semuanya akan berjalan dengan sendirinya secara alamiah. Karya trilogi yang menggambarkan kecintaan kami kepada Yogyakarta adalah penanda akan perubahan-perubahan jaman; Jogja Istimewa (2010), Song of Sabdatama (2012), Jogja Ora Didol (2014). Sudah seharusnya rasa cinta tidak membuat kita buta akan kekurangannya.”

Kill the DJ

Penulis lagu Jogja Istimewa, lahir dan tinggal di Klaten

 

Free Palestine Now !

FreePalestineNowPoster

Tragedi kemanusiaan di Jalur Gaza, Palestina, yang telah terjadi hingga saat ini telah menyita perhatian dunia, meskipun hal itu terjadi di tengah Pilpres dan Piala Dunia Brazil, bahkan jumlah anak-anak tak berdosa yang telah tewas menjadi korban perang di Jalur Gaza angkanya lebih banyak dari keseluruhan jumlah gol yang tercipta di sepanjang piala dunia. Berita serangan Israel yang terus berlanjut hingga hari ini di Jalur Gaza semakin menimbulkan tragedi kemanusiaan, sudah seharusnya hal itu menggerakkan hati kita sebagai warga dunia untuk memberikan perhatian dan kepedulian.

Namun berisik saja tidak akan pernah cukup, kami kembali mengajak teman-teman untuk rela memberi sumbangsih sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kita. Untuk itulah kami menggelar konser amal bertajuk Free Palestine Now sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan bagi saudara-saudara kita di Palestina tersebut. Seperti yang sudah biasa kami lakukan dengan berbagai konser amal sebelumnya, Free Palestine Now bersifat mandiri dan jauh dari kepentingan politik dan agama apapun. Kami sekali lagi mengajak seluruh penggemar dan siapa pun yang hadir untuk bergandengan tangan bersama dan kembali membuktikan bahwa nilai-nilai kemanusiaan adalah universal.

Konser amal Free Palestine Now akan digelar pada tanggal 17 Juli 2014, Pukul 21:00 (selepas tarwih), bertempat di Jogja Nasional Museum, menampilkan Shaggydog, Jogja Hip Hop Foundation, dan FSTVLST. Kali ini kami juga mengundang berbagai organisasi untuk terlibat dan menyuarakan dukungan bersama, antara lain; Gerakan Pemuda Anshor, Gusdurian, Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah DIY, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, dll. sebagai bentuk perwujudan dari solidaritas kemanusiaan yang universal tersebut.

Donasi sumbangan berbentuk tiket masuk sebesar (minimal) Rp.20.000,- atau lebih. Bagi yang berhalangan hadir bisa mengirim sumbangan via transfer bank ke BCA 037.321.3290 a/n Aulia Anindita. Dana yang terkumpul akan disumbangkan ke Rumah Sakit Indonesia di Gaza, Palestina, yang dikelola oleh MER-C. Bangunan rumah sakitnya sudah jadi, tapi isinya belum ada. Kita bantu saudara-saudara kita sebangsa yang sedang berjuang untuk misi kemanusiaan di Palestina. Segala informasi tentang MER-C bisa dilihat di www.mer-c.org

Terima kasih. Salam!

Pengungsi Sinabung dan Pilpres

Marhaban Ya Ramadhan; Sebuah Masjid yang runtuh di lereng Sinabung. Juni 2014
Marhaban Ya Ramadhan; Sebuah Masjid yang runtuh di lereng Sinabung. Juni 2014

Setelah tiga hari safari keliling ke beberapa kota untuk menjadi relawan Jokowi. Semalam aku tiba di rumah hampir tengah malam. Di perjalanan, aku membaca beberapa berita tentang gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatra Utara, kembali mengalami erupsi dengan luncuran material dan awan panas. Ingatanku kembali ke Tanah Karo, di mana 4 bulan lalu aku pergi ke sana untuk membantu teman-teman relawan (bukan relawan capres) Karang Taruna Tanah Karo dalam mendampingi ribuan pengungsi melalui dana yang kami kumpulkan dalam konser amal #GugurGunung (Jogja) dan #HeartofSinabung (Bali). Selalu ada persahabatan yang tak akan lekang dimakan waktu setelah kerja-kerja kemanusiaan demikian. Maka, sesampainya di rumah, hal pertama yang aku lakukan adalah mencoba menelpon teman-teman relawan di Tanah Karo untuk mendapatkan detail erupsi, kabar, dan kemungkinan yang bisa aku lakukan. Tapi telponku tidak diangkat, mungkin karena mereka sedang sibuk-sibuknya membantu pengungsi.

Paginya, setalah bangun pukul 05:30, aku kembali mencoba telpon. Bakat Setiawan, pemuda asal Boyolali dan telah 10 bulan menjadi relawan di Sinabung, mengangkat telponku dan bercerita. Benar terjadi erupsi dan beberapa penduduk desa harus diungsikan dan tadi malam mereka terlibat mengawal proses pengungsian tersebut. Namun cerita yang lebih memprihatinkan adalah, setelah hampir setahun erupsi Sinabung, ribuan pengungsi masih belum mendapatkan kepastian, utamanya tentang relokasi karena desanya telah hancur terkubur oleh material vulkanik. Beberapa barak pengungsian kini malah dalam proses pembubaran dan pengungsi mendapat pesangon 2 s/d 3 juta rupiah dan pemerintah melepaskan diri tanggungjawab untuk kehidupan mereka. Terlebih sawah dan ladang mereka tetap belum bisa digarap. Akibatnya kemudian, mereka tidak menentu hidupnya, banyak pengungsi yang kemudian mendirikan tenda-tenda mandiri sebagai rumah tinggal di tepi-tepi jalan.

Di Sinabung, yang mayoritas beragama kristen, kami bekerja tanpa memandang agama atau pilihan presiden. Foto di atas diambil oleh teman relawan kristen, sebuah gambaran empati yang luar biasa karena ketika bulan suci ramadhan tiba, masjid yang 10 bulan lalu roboh masih tetap dalam kondisi hancur. Mereka tetap membantu penyelenggaraan ibadah puasa terutama lokasi tarawih untuk para pengungsi muslim. Sebuah contoh praktik nilai-nilai bhineka tunggal ika yang diajarkan oleh rakyat kecil di tengah lautan fitnah yang disebar oleh elite-elite politik dalam kampanye capres 2014 ini, dimana hal itu telah memecah belah dan mencederai persaudaraan bangsa.

Kondisi mereka sangat ironis jika dibandingkan dengan biaya kampanye dan uang trilyunan rupiah yang disebar di Pilpres 2014, saat ini jabatan dan kekuasaan memang lebih penting dari kemanusiaan. Saya kembali membuka rekening pribadi saya agar kembali bisa membantu saudara-saudara kita di Sinabung.

Merah Putih di Puncak Sinabung
Merah Putih di Puncak Sinabung, Maret 2014

Bantu kami Bantu Mereka; BCA KCU 0372216881 a/n Moh Marjuki – MANDIRI 900-00-1421586-8 a/n Moh Marjuki – Konfirmasi tranfes via mrzooki@yahoo.com, atau mention via twitter @killthedj

Prambanan, 30 Juni 2014

Marzuki Mohamad a.k.a Kill the DJ

Catatan dari #GugurGunung untuk #Sinabung

Akhirnya hajatan konser amal bertajuk #GugurGunung untuk #Sinabung selesai sudah digelar semalam, 23 Januari 2014. Dengan persiapan komplit yang hanya satu minggu, kita tidak bisa minta lebih dari apa yang terjadi semalam. Secara umum acara berjalan sukses, lancar, tertib, dan hampir tidak ada kendala yang berarti, kecuali bahwa kita menghentikan penjualan tiket di angka 2500 karena keterbatasan Jogja Nasional Museum, meskipun diluar masih banyak penonton yang ingin masuk. Jumlah total yang ada di dalam venue kurang lebih 3000 orang.

Jumlah sumbangan terkumpul dari penjualan tiket sebesar 48 juta, jika ditambah sumbangan via transfer bank 18 juta, total #GugurGunung menghasilkan donasi sebesar 66 juta untuk #Sinabung. Kemungkinan akan semakin bertambah karena donasi via transfer bank masih terus dibuka hingga 29 Januari.

Yang masih pengen nitip donasi via transfer bank, silahkan ke BCA 037 321 3290 a/n Aulia Anindita dan rekening MANDIRI 900-00-1421586-8 a/n Moh Marjuki. Rekening donasi ditutup tgl 29 Januari. Tim relawan akan berangkat tgl 31 Januari

Bahwa jumlah donasi penting, karena itu yang akan kita sumbangkan, tapi ada beberapa hal lain yang tak kalah penting dan patut kita rayakan bersama. Untuk itulah catatan sederhana ini aku tulis.

Banyak pertanyaan kenapa konser amal #GugurGunung untuk #Sinabung? Kenapa bukan yang lain? Tanpa mengecilkan bencana yang lain yang banyak melanda negeri ini, #GugurGunung bekerjasama dengan tim relawan independen yang akan berangkat ke #Sinabung. Mereka adalah teman-teman yang sudah sering bekerjasama bersama kami dan sangat berpengalaman dengan erupsi Merapi. Kita terpilih untuk memilih, dan kita memilih #Sinabung.

Konser Amal #GugurGunung juga berfungsi sebagai awareness bagi publik, bahwa erupsi #Sinabung yang sudah berlangsung sejak September 2013 itu kalah dengan berita-berita politik yang memanas di 2014 dan banjir ibu kota. Bahkan kalah heboh dengan berita instagram ibu Ani Yudhoyono. Kita masyarakat Jogja sudah sangat berpengalaman dengan bencana, setiap bencana adalah penderitaan buat korban, tapi setiap bencana alam bisa berubah menjadi tragedi kemanusiaan jika negara lalai dan cenderung membiarkan. Praktis #Sinabung menjadi highlight berita karena Presiden SBY datang ke lokasi pengungsian.

Semboyan #GugurGunung “lebih baik menyalakan api dari pada mengutuk kegelapan” tergambar jelas. Kita telah bersatu padu dalam irama yang sama; semangat gotong-royong untuk membantu sesama dengan cara kita. Bukankah akhir-akhir ini, dengan media sosial sebagai generatornya, publik begitu gampang menghujat tanpa sumbangsih. Dengan #GugurGunung kita bergandengan tangan dan mengambil peran.

Kesediaan setiap kelompok fans masing-masing band yang bergantian di barisan terdepan untuk menikmati band favoritnya adalah bukti, bahwa kita bisa memberi ruang bagi “yang lain” dan “yang berbeda”. Sudah terlalu banyak contoh kasus diskriminasi kepada minoritas dan peristiwa-peritiwa anti toleransi yang mengingkari kebhinekaan di negeri ini. Salut dan hormat untuk semua kelompok fans masing-masing band; Kamtis, Doggies, Jackers, Festivalist, Sedulur, kalian telah menyalakan semangat positif untuk negeri ini. Fans bukan cuma angka dan jumlah, kalian adalah manusia-manusia hebat yang mampu membuat gerakan bersama.

Akhirnya, salut dan apresiasi tertinggi untuk semua yang terlibat di #GugurGunung, mulai dari para vendor untuk sound, lighting, equipment, panggung, venue, dll. Para staff organizer dan stage crew yang bekerja keras. Para donatur dan sponsor yang dalam diam menyumbang terselenggaranya acara ini. Semua media partner yang telah mengabarkan energy positif dari #GugurGunung. Tak ketinggalan semua tim security dan bapak-bapak polisi yang mengamanakan acara #GugurGunung tanpa bayaran.

Bahwa Jogja Istimewa bukan hanya karena daerahnya istimewa, tapi karena orang-ornagnya yang rela bahu-membahu untuk bergotong-royong demi kepentingan bersama. Peluk erat untuk Endank Soekamti, Shaggy Dog, Captain Jack, FSTVLST, Jogja Hip Hop Foundation.

Tentang Agama, Pahala, Surga, aku tidak tahu dan tidak peduli. Ukuran kualitas manusia adalah manfaat bagi manusia yang lain dan alam raya. Dengan ukuran norma tertentu, aku bukanlah manusia “mulia”, karena selesai acara, aku mabuk berat dan memarkirkan mobil untuk tidur di pinggir jalan karena tidak kuat lagi menyopir.

Urip kudu urup lan migunani tumraping liyan.

Kill the DJ

Konser Amal: #GugurGunung untuk #Sinabung

GugurGunungSmall

Siaran Pers Konser Amal

#GugurGunung untuk #Sinabung

23 Januari 2014 | Jogja Nasional Museum | 19:00 – 23:00 |

Endank Soekamti, ShaggyDog, Jogja Hip Hop Foundation, Captain Jack, FSTVLST

‘Gugur Gunung’ dalam istilah Jawa berarti guyub-rukun dan bahu-membahu untuk bergotong-royong menyelesaikan persoalan atau masalah bersama. Istilah ini pernah kami gagas menjadi sebuah tema gerakan sosial para musisi di Yogyakarta untuk membantu korban bencana erupsi Merapi akhir tahun 2010, dengan bentuk konser amal. Hingga kemudian hash tag #GugurGunung terukir dalam satu set gamelan yang kami sumbangkan untuk menggantikan gamelan yang hancur diterjang erupsi Merapi di Kinahrejo.

Saat ini, Gunung Sinabung, di Karo, Sumatra Utara, yang sudah mengalami erupsi sejak September 2013 telah menimbulkan bencana bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Tercatat hingga pertengahan Januari 2014 sudah 26.000 warga yang terpaksa hidup menjadi pengungsi dengan bantuan minim, ditambah manajemen bencana yang sangat buruk karena peran negara yang tidak maksimal. Juga karena kalah highlight dengan berita politik yang memanas di 2014 atau banjir di ibu kota, sehingga kesadaran dan kepedulian masyarakat luas sangat tipis.

Setiap bencana alam pasti menimbulkan penderitaan, kami masyarakat di Yogyakarta sudah sangat berpengalaman dengan situasi itu, betapa pun pemerintah atau negara siap untuk menanganinya, tetap akan menimbulkan penderitaan bagi masyarakat yang tertimpa bencana, apalagi jika peran negara tidak bisa diandalkan. Bencana alam bisa berubah menjadi tragedi kemanusiaan ketika negara dan warga semakin tidak peduli. Tidak akan pernah ada yang salah jika kita mengambil peran untuk membantu sesama.

Dengan alasan tersebut, manajemen Jogja Hip Hop Foundation, Endank Soekamti, dan Shaggydog, menginisiasi sebuah konser amal dengan titel #GugurGunung untuk #Sinabung pada 23 Januari 2014, di Jogja Nasional Museum, 19:00 s/d 23:00. Kemudian kami juga mengajak Captain Jack dan FSTVLST untuk bergabung dalam konser ini.

Donasi diwujudkan dengan pembelian tiket dengan harga minimal Rp.20.000,- dimana semua hasilnya akan disumbangkan untuk korban bencana #Sinabung. #GugurGunung juga membuka donasi terbuka bagi masyarakat luas yang hendak menitipkan donasi via rekening BCA 037 321 3290 a/n Aulia Anindita dan rekening MANDIRI 900-00-1421586-8 a/n Moh Marjuki. Ini kesempatan sekaligus tantangan bagi masyarakat luas untuk membuktikan Yogyakarta memang istimewa bukan hanya karena daerahnya.

Konser amal #GugurGunung untuk #Sinabung ini zero budget alias tanpa biaya produksi karena semua yang terlibat patungan dan tidak dibayar, termasuk berbagai kalangan yang mendukung acara ini, seperti; event organizer dan berbagai vendor seperti sound, quipment, lighting, stage dll.

Fans bukan hanya angka atau jumlah, penting untuk mengedukasi fans dan bersama-sama dengan mereka untuk melakukan sebuah gerakan sosial dan memilih untuk turun tangan dengan mengambil peran dari pada hanya sekedar terus menghujat.

Lebih baik menyalakan api dari pada mengutuk kegelapan.

Juru Bicara #GugurGunung

Marzuki Mohamad a.k.a Kill the DJ

Kontak #GugurGunung

Inud +62 811 257599 / inudtz@yahoo.com

Dita +62 811 284632 / javahiphop@gmail.com

Zuki +62 811 2503066 / mrzooki@yahoo.com

Pisau Bermata Dua; Refleksi Tiga Tahun Lagu Jogja Istimewa

Akhir 2010, isu Keistimewaan Yogyakarta yang hendak diubah Jakarta (baca: pemerintah pusat) sedang panas-panasnya, lagu Jogja Istimewa hadir mengiringi langkah-langkah yang gagah dan berani, menyatukan semangat, dan menjadi soundtrack bagi seluruh rakyat Yogyakarta dalam memperjuangkan keistimewaan itu. Makna kehadirannya semakin terasa istimewa karena lagu itu juga menjadi penyebar semangat bagi warga Yogyakarta untuk membantu saudara-saudara kita yang tertimpa bencana erupsi Merapi.

Pada sebuah kesempatan, saya pernah menyampaikan bahwa lagu tersebut bagai Pisau Bermata Dua, yang bisa menjadi dukungan atas perjuangan Yogyakarta, tapi sekaligus bisa menjadi pengingat atau kritik bagi seluruh warga, pamong praja, para pemimpin dan penguasa di Yogyakarta, jika dalam mengemban amanatnya tidak sesuai dengan nilai-nilai dan kearifan dalam lagu tersebut.

Seperti yang pernah saya sampaikan dalam tulisan “Membedah Lirik Jogja Istimewa”, lagu tersebut 90% liriknya bersumber dari realitas sejarah yang saya tulis ulang, mencerminkan nilai-nilai luhur yang telah tertanam sebagai tradisi dan identitas Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta sesungguhnya harus dimaknai bukan hanya sebatas namanya yang kembali dikukuhkan sebagai Daerah Istimewa, tapi bagaimana kita memaknai keistimewaan tersebut dalam praktik kehidupan sebagai warga Yogyakarta tak terkecuali siapa pun orang itu, warga biasa, maupun seorang walikota, bahkan raja.

“Tanah yang melahirkan tahta, tahta untuk rakyat, di mana rajanya bercermin di kalbu rakyat, di sanalah singgahsana bermartabat, berdiri kokoh mengayomi rakyat”. saya menulis dengan merinding kutipan lirik tersebut, karena membaca sejarah Kraton Yogyakarta dari jaman perjuangan kemerdekaan hingga reformasi yang selalu tercatat bisa mengaktualisasikan dirinya sebagai kraton rakyat yang selalu mengayomi seperti nilai “memayu hayuning bhawana” yang diembannya. Seperti itulah seharusnya kekuasaan dalam berbagai level pemerintahan di Yogyakarta diemban.

Apakah saat ini Ngayogyokarto Hadiningrat dan berbagai institusi pemerintahan di Yogyakarta masih menjadi ‘kraton rakyat’ hingga sekarang? Semuanya kembali kepada akar rumput, warga biasa, di sanalah permasalahan-permasalahan riil secara gamblang terbaca, meskipun dalam sisi dan kasus yang sangat spesifik kita tetap boleh curiga kepentingan politis tertentu yang menggerakkan mereka. Apapun itu, persis seperti ketika perjuangan membela keistimewaan, saya adalah ‘kelas menengah ngehek’ yang berdiri dibalik wong cilik, akar rumput yang turun memenuhi jalan-jalan untuk mendukung keistimewaan pada waktu itu.

Ing Ngarso Sung Thulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani …

Saya, bersama teman-teman di Jogja Hip Hop Foundation akan selalu lantang menyanyikan lagu Jogja Istimewa untuk mengingatkan nilai-nilai luhur yang tertulis dalam lirik tersebut. Karena hanya dengan keberanian dan kelapangan hati untuk bisa mengkritik diri sendiri agar menjadi lebih baik, maka kita pantas menyebut ‘tetap istimewa’.

 

Kill the DJ

Penulis lagu Jogja Istimewa kelahiran Klaten

Catatan Perjalanan Center Stage US Tour 2012

Saya menulis buku berjudul “Java Beat in the Big Apple” untuk mendokumentasikan tour Jogja Hip Hop Foundation di USA from east coast to west coast tahun 2012. Tanpa perlu bicara panjang lebar berikut beberapa testimoni dari teman-teman saya;

“Dengan jernih dan mengalir, Marzuki bercerita kisah yang begitu hidup dan menginspirasi, tentang bagaimana “kaum agraris” Yogyakarta yang tergabung dalam JHF berhasil menjadi duta budaya Indonesia dan memukau publik hip-hop Amerika dengan modal kejujuran dan otentisitas. Buku ini dapat membuat kita merenungi ulang potensi luar biasa yang kita miliki sebagai bangsa, dan semoga memicu kita untuk berani mengolah dan menyajikannya pada dunia.” ~ @deelestari – Penulis dan Penyanyi

“Membaca jurnal Marzuki Mohammad atau Kill The DJ tentang perjalanan JHF ‘menaklukkan’ Amerika ini memberi saya banyak sudut pandang baru yang menarik. Gaya menulisnya terkesan santai dengan sikap kaki yang selalu menginjak bumi, namun ada presisi dan akurasi yang sudah ditakarkan sedemikian rupa agar nyawa dan tujuan tulisannya tetap terjaga. Keseruan cerita-cerita konser begitu imbang dengan kisah-kisah diluar konser yang berpotensi membuat anda semakin jatuh cinta kepada Kill The DJ. Sudut pandangnya lugas dan esensial, kisahnya terasa begitu jujur, berharga dan mendalam tanpa harus menjadi pretensius. Tanpa campur tangan pemerintah dan tanpa manipulasi media ala musisi mainstream Indonesia, JHF membuktikan dengan sangat gagah, jika cinta dan passion bisa membawa kemanapun mereka mau. Indonesia harusnya malu” ~ @JRX_SID – Superman is Dead, Aktivis

“Buku ini bukan hanya tentang perjalanan sebuah unit hip hop paling fenomenal asal Jogja ke Amerika, namun juga tentang cerita perjalanan anak-anak muda yang berjuang untuk mempertahankan identitasnya di era global yang karut-marut. Mereka tidak perlu berdandan bling-bling, cukup dengan baju batik, bahasa Jawa, dan dentuman beat hip hop yang unik, JHF dengan lantang menyerukan di jantung hip hop Amerika, bahwa; Jogja Istimewa!” ~ @GlennFredly ~ Musisi, Aktivis

Jika penasaran, silahkan beli bukunya di toko-toko buku Gramedia maupun online.

Berikut video singkat perjalanan JHF di USA: