Tag Archives: jogja istimewa

Gegeran Istimewa

Gegeran Isimewa

Drama suksesi Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat akhir-akhir ini, meskipun jauh-jauh hari sudah terprediksi, tetap saja sangat memprihatinkan. Sebagai penulis anthem Jogja Istimewa –yang sesungguhnya ketika diciptakan tidak ada kaitannya dengan status keistimewaan, wajar jika kemudian banyak pihak yang meminta pendapat saya, namun saya menolak untuk berkomentar karena tidak tertarik untuk ikut campur.

Saat ini saya sedang menjalani laku tapa bisu (berdiam diri) dengan tidak menyanyikan lagu Jogja Istimewa, hingga batas waktu yang tidak ditentukan, sebagai wujud keprihatinan atas berbagai hal buruk yang terjadi di Yogyakarta. Bukan hanya melulu gegeran suksesi keraton, melainkan juga bentuk keprihatinan atas berbagai arah pembangunan di Yogyakarta yang tidak lagi memanusiakan manusianya dan menghormati sedulur sikep (alam raya sebagai saudara manusia). Saya membutuhkan waktu lama untuk memutuskan dan harus berdebat sebagai resiko kolektif Jogja Hip Hop Foundation, karena bagaimanapun lagu tersebut yang membesarkan kami, juga banyak job manggung datang hanya untuk kami membawakan lagu itu.

Bagi saya tidak penting siapa raja Yogyakarta kelak, laki-laki atau perempuan, juga tidak penting apakah perlu menjaga paugeran keraton atau mengikuti sabda raja. Karena ada yang jauh lebih penting dari pada siapa yang akan jadi raja Yogyakarta, yaitu “rakyat”.

Mengambil pelajaran dari kisah pewayangan “Petruk Dadi Ratu”, dijelaskan bahwa siapapun yang berkuasa tidak akan bisa hidup dan menghidupi kekuasaan itu tanpa dipangku dan diemong oleh rakyatnya. Jaman selalu berubah, penguasa selalu berganti, kekuasaan tidak langgeng, yang selalu abadi adalah rakyat lengkap dengan segala daya kehidupannya. Kraton, negara, kekuasaan, tidak akan berarti tanpa rakyat yang bekerja untuk menjaga eksistensinya.

Pertanyaannya sekarang, apakah saat ini Keraton Yogyakarta masih masih dibutuhkan dalam kehidupan riil rakyat Yogyakarta? Apakah masih layak disebut sebagai “keraton rakyat” yang selalu mengayomi? Atau hanya sekedar simbol istana tempat tinggal keluarga darah biru tanpa ada peran berarti lagi bagi kehidupan rakyatnya?

Pada masa kemerdekaan Negeri Yogyakarta disebut sebagai “jantung Indonesia” karena menghidupi republik yang masih bayi dengan segala sumber daya yang dimilikinya, disamping kekayaan keraton, juga rakyatnya yang istimewa dan rela berkorban demi negerinya. Dalam berbagai peristiwa bersejarah rakyat sudah teruji kebesarannya; kemerdekaan, reformasi, gempa, merapi, keistimewaan, semuanya bisa terjadi karena kehendak rakyat yang bergerak. Seperti kalimat Soekarno ketika pamitan dari Yogyakarta sebagai ibu kota republik sementara saat itu; “Yogyakarta istimewa karena orang-orangnya yang rela berkorban”.

Pada sebuah kesempatan Sri Sultan HBX pernah menerangkan filosofi angka Jawa kepada saya, bahwa angka tertinggi di Jawa itu adalah 9, 10 itu sama dengan 0, maka beliau sebagai sultan ke 10 harus memulai hal baru, meletakkan pondasi baru untuk masa depan Yogyakarta. Tapi entah kenapa, saat itu justru saya berpikir bahwa 0 juga bisa bermakna “habis” atau “selesai”. Tergambar dalam imajinasi saya Kraton Yogyakarta akan bubar. 5 orang anak yang semuanya perempuan adalah pertanda dari alam.

Saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah paragraf dari buku saya Java Beat in the Big Apple;

“…di sisi lain, lagu Jogja Istimewa seperti pisau bermata dua, dia adalah dukungan untuk akar rumput yang sangat mencintai negerinya, sekaligus liriknya adalah pepiling (pengingat) akan nilai-nilai yang harus dijunjung oleh masyarakat dan pemimpinnya, tidak terkecuali bagi rajanya. Waktu akan membuktikan hal-hal, generasi akan berganti, dan semuanya akan berjalan dengan sendirinya secara alamiah. Karya trilogi yang menggambarkan kecintaan kami kepada Yogyakarta adalah penanda akan perubahan-perubahan jaman; Jogja Istimewa (2010), Song of Sabdatama (2012), Jogja Ora Didol (2014). Sudah seharusnya rasa cinta tidak membuat kita buta akan kekurangannya.”

Kill the DJ

Penulis lagu Jogja Istimewa, lahir dan tinggal di Klaten

 

Catatan dari #GugurGunung untuk #Sinabung

Akhirnya hajatan konser amal bertajuk #GugurGunung untuk #Sinabung selesai sudah digelar semalam, 23 Januari 2014. Dengan persiapan komplit yang hanya satu minggu, kita tidak bisa minta lebih dari apa yang terjadi semalam. Secara umum acara berjalan sukses, lancar, tertib, dan hampir tidak ada kendala yang berarti, kecuali bahwa kita menghentikan penjualan tiket di angka 2500 karena keterbatasan Jogja Nasional Museum, meskipun diluar masih banyak penonton yang ingin masuk. Jumlah total yang ada di dalam venue kurang lebih 3000 orang.

Jumlah sumbangan terkumpul dari penjualan tiket sebesar 48 juta, jika ditambah sumbangan via transfer bank 18 juta, total #GugurGunung menghasilkan donasi sebesar 66 juta untuk #Sinabung. Kemungkinan akan semakin bertambah karena donasi via transfer bank masih terus dibuka hingga 29 Januari.

Yang masih pengen nitip donasi via transfer bank, silahkan ke BCA 037 321 3290 a/n Aulia Anindita dan rekening MANDIRI 900-00-1421586-8 a/n Moh Marjuki. Rekening donasi ditutup tgl 29 Januari. Tim relawan akan berangkat tgl 31 Januari

Bahwa jumlah donasi penting, karena itu yang akan kita sumbangkan, tapi ada beberapa hal lain yang tak kalah penting dan patut kita rayakan bersama. Untuk itulah catatan sederhana ini aku tulis.

Banyak pertanyaan kenapa konser amal #GugurGunung untuk #Sinabung? Kenapa bukan yang lain? Tanpa mengecilkan bencana yang lain yang banyak melanda negeri ini, #GugurGunung bekerjasama dengan tim relawan independen yang akan berangkat ke #Sinabung. Mereka adalah teman-teman yang sudah sering bekerjasama bersama kami dan sangat berpengalaman dengan erupsi Merapi. Kita terpilih untuk memilih, dan kita memilih #Sinabung.

Konser Amal #GugurGunung juga berfungsi sebagai awareness bagi publik, bahwa erupsi #Sinabung yang sudah berlangsung sejak September 2013 itu kalah dengan berita-berita politik yang memanas di 2014 dan banjir ibu kota. Bahkan kalah heboh dengan berita instagram ibu Ani Yudhoyono. Kita masyarakat Jogja sudah sangat berpengalaman dengan bencana, setiap bencana adalah penderitaan buat korban, tapi setiap bencana alam bisa berubah menjadi tragedi kemanusiaan jika negara lalai dan cenderung membiarkan. Praktis #Sinabung menjadi highlight berita karena Presiden SBY datang ke lokasi pengungsian.

Semboyan #GugurGunung “lebih baik menyalakan api dari pada mengutuk kegelapan” tergambar jelas. Kita telah bersatu padu dalam irama yang sama; semangat gotong-royong untuk membantu sesama dengan cara kita. Bukankah akhir-akhir ini, dengan media sosial sebagai generatornya, publik begitu gampang menghujat tanpa sumbangsih. Dengan #GugurGunung kita bergandengan tangan dan mengambil peran.

Kesediaan setiap kelompok fans masing-masing band yang bergantian di barisan terdepan untuk menikmati band favoritnya adalah bukti, bahwa kita bisa memberi ruang bagi “yang lain” dan “yang berbeda”. Sudah terlalu banyak contoh kasus diskriminasi kepada minoritas dan peristiwa-peritiwa anti toleransi yang mengingkari kebhinekaan di negeri ini. Salut dan hormat untuk semua kelompok fans masing-masing band; Kamtis, Doggies, Jackers, Festivalist, Sedulur, kalian telah menyalakan semangat positif untuk negeri ini. Fans bukan cuma angka dan jumlah, kalian adalah manusia-manusia hebat yang mampu membuat gerakan bersama.

Akhirnya, salut dan apresiasi tertinggi untuk semua yang terlibat di #GugurGunung, mulai dari para vendor untuk sound, lighting, equipment, panggung, venue, dll. Para staff organizer dan stage crew yang bekerja keras. Para donatur dan sponsor yang dalam diam menyumbang terselenggaranya acara ini. Semua media partner yang telah mengabarkan energy positif dari #GugurGunung. Tak ketinggalan semua tim security dan bapak-bapak polisi yang mengamanakan acara #GugurGunung tanpa bayaran.

Bahwa Jogja Istimewa bukan hanya karena daerahnya istimewa, tapi karena orang-ornagnya yang rela bahu-membahu untuk bergotong-royong demi kepentingan bersama. Peluk erat untuk Endank Soekamti, Shaggy Dog, Captain Jack, FSTVLST, Jogja Hip Hop Foundation.

Tentang Agama, Pahala, Surga, aku tidak tahu dan tidak peduli. Ukuran kualitas manusia adalah manfaat bagi manusia yang lain dan alam raya. Dengan ukuran norma tertentu, aku bukanlah manusia “mulia”, karena selesai acara, aku mabuk berat dan memarkirkan mobil untuk tidur di pinggir jalan karena tidak kuat lagi menyopir.

Urip kudu urup lan migunani tumraping liyan.

Kill the DJ

Pisau Bermata Dua; Refleksi Tiga Tahun Lagu Jogja Istimewa

Akhir 2010, isu Keistimewaan Yogyakarta yang hendak diubah Jakarta (baca: pemerintah pusat) sedang panas-panasnya, lagu Jogja Istimewa hadir mengiringi langkah-langkah yang gagah dan berani, menyatukan semangat, dan menjadi soundtrack bagi seluruh rakyat Yogyakarta dalam memperjuangkan keistimewaan itu. Makna kehadirannya semakin terasa istimewa karena lagu itu juga menjadi penyebar semangat bagi warga Yogyakarta untuk membantu saudara-saudara kita yang tertimpa bencana erupsi Merapi.

Pada sebuah kesempatan, saya pernah menyampaikan bahwa lagu tersebut bagai Pisau Bermata Dua, yang bisa menjadi dukungan atas perjuangan Yogyakarta, tapi sekaligus bisa menjadi pengingat atau kritik bagi seluruh warga, pamong praja, para pemimpin dan penguasa di Yogyakarta, jika dalam mengemban amanatnya tidak sesuai dengan nilai-nilai dan kearifan dalam lagu tersebut.

Seperti yang pernah saya sampaikan dalam tulisan “Membedah Lirik Jogja Istimewa”, lagu tersebut 90% liriknya bersumber dari realitas sejarah yang saya tulis ulang, mencerminkan nilai-nilai luhur yang telah tertanam sebagai tradisi dan identitas Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta sesungguhnya harus dimaknai bukan hanya sebatas namanya yang kembali dikukuhkan sebagai Daerah Istimewa, tapi bagaimana kita memaknai keistimewaan tersebut dalam praktik kehidupan sebagai warga Yogyakarta tak terkecuali siapa pun orang itu, warga biasa, maupun seorang walikota, bahkan raja.

“Tanah yang melahirkan tahta, tahta untuk rakyat, di mana rajanya bercermin di kalbu rakyat, di sanalah singgahsana bermartabat, berdiri kokoh mengayomi rakyat”. saya menulis dengan merinding kutipan lirik tersebut, karena membaca sejarah Kraton Yogyakarta dari jaman perjuangan kemerdekaan hingga reformasi yang selalu tercatat bisa mengaktualisasikan dirinya sebagai kraton rakyat yang selalu mengayomi seperti nilai “memayu hayuning bhawana” yang diembannya. Seperti itulah seharusnya kekuasaan dalam berbagai level pemerintahan di Yogyakarta diemban.

Apakah saat ini Ngayogyokarto Hadiningrat dan berbagai institusi pemerintahan di Yogyakarta masih menjadi ‘kraton rakyat’ hingga sekarang? Semuanya kembali kepada akar rumput, warga biasa, di sanalah permasalahan-permasalahan riil secara gamblang terbaca, meskipun dalam sisi dan kasus yang sangat spesifik kita tetap boleh curiga kepentingan politis tertentu yang menggerakkan mereka. Apapun itu, persis seperti ketika perjuangan membela keistimewaan, saya adalah ‘kelas menengah ngehek’ yang berdiri dibalik wong cilik, akar rumput yang turun memenuhi jalan-jalan untuk mendukung keistimewaan pada waktu itu.

Ing Ngarso Sung Thulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani …

Saya, bersama teman-teman di Jogja Hip Hop Foundation akan selalu lantang menyanyikan lagu Jogja Istimewa untuk mengingatkan nilai-nilai luhur yang tertulis dalam lirik tersebut. Karena hanya dengan keberanian dan kelapangan hati untuk bisa mengkritik diri sendiri agar menjadi lebih baik, maka kita pantas menyebut ‘tetap istimewa’.

 

Kill the DJ

Penulis lagu Jogja Istimewa kelahiran Klaten

Catatan Perjalanan Center Stage US Tour 2012

Saya menulis buku berjudul “Java Beat in the Big Apple” untuk mendokumentasikan tour Jogja Hip Hop Foundation di USA from east coast to west coast tahun 2012. Tanpa perlu bicara panjang lebar berikut beberapa testimoni dari teman-teman saya;

“Dengan jernih dan mengalir, Marzuki bercerita kisah yang begitu hidup dan menginspirasi, tentang bagaimana “kaum agraris” Yogyakarta yang tergabung dalam JHF berhasil menjadi duta budaya Indonesia dan memukau publik hip-hop Amerika dengan modal kejujuran dan otentisitas. Buku ini dapat membuat kita merenungi ulang potensi luar biasa yang kita miliki sebagai bangsa, dan semoga memicu kita untuk berani mengolah dan menyajikannya pada dunia.” ~ @deelestari – Penulis dan Penyanyi

“Membaca jurnal Marzuki Mohammad atau Kill The DJ tentang perjalanan JHF ‘menaklukkan’ Amerika ini memberi saya banyak sudut pandang baru yang menarik. Gaya menulisnya terkesan santai dengan sikap kaki yang selalu menginjak bumi, namun ada presisi dan akurasi yang sudah ditakarkan sedemikian rupa agar nyawa dan tujuan tulisannya tetap terjaga. Keseruan cerita-cerita konser begitu imbang dengan kisah-kisah diluar konser yang berpotensi membuat anda semakin jatuh cinta kepada Kill The DJ. Sudut pandangnya lugas dan esensial, kisahnya terasa begitu jujur, berharga dan mendalam tanpa harus menjadi pretensius. Tanpa campur tangan pemerintah dan tanpa manipulasi media ala musisi mainstream Indonesia, JHF membuktikan dengan sangat gagah, jika cinta dan passion bisa membawa kemanapun mereka mau. Indonesia harusnya malu” ~ @JRX_SID – Superman is Dead, Aktivis

“Buku ini bukan hanya tentang perjalanan sebuah unit hip hop paling fenomenal asal Jogja ke Amerika, namun juga tentang cerita perjalanan anak-anak muda yang berjuang untuk mempertahankan identitasnya di era global yang karut-marut. Mereka tidak perlu berdandan bling-bling, cukup dengan baju batik, bahasa Jawa, dan dentuman beat hip hop yang unik, JHF dengan lantang menyerukan di jantung hip hop Amerika, bahwa; Jogja Istimewa!” ~ @GlennFredly ~ Musisi, Aktivis

Jika penasaran, silahkan beli bukunya di toko-toko buku Gramedia maupun online.

Berikut video singkat perjalanan JHF di USA:

Song of Sabdatama

Download Song of Sabdatama
Download Song of Sabdatama (feat Akala)

Berikut saya posting sebuah single terbaru dari Jogja Hip Hop Foundation (JHF) berjudul Song of Sabdatama (2012), sebuah lagu dengan nafas dan semangat sama dengan Jogja Istimewa (2010) yang didedikasikan untuk seluruh warga Yogyakarta, soundtrack perjuangan dan persaudaraan, penyebar semangat untuk warga dalam memperjuangkan hak-haknya dan juga menjaga harmoni kehidupan yang bhineka.

Judul lagu ini mengambil dari Sabdatama (Sabda Utama) yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengkubhuwono X pada bulan Mei 2012 lalu, selaku raja Yogyakarta, untuk meneguhkan sikap terhadap kusutnya status keistimewaan Yogyakarta. Sabdatama kemudian juga dibaca oleh warga Yogyakarta sebagai simbol penolakan atas beberapa tindak kekerasan atas nama suku dan agama yang bermotif konspirasi politik yang terjadi di Yogyakarta beberapa bulan terakhir. Sebagai catatan; Sabdatama biasanya hanya dikeluarkan sekali oleh seorang raja, Sultan HBIX mengeluarkan Sabdatama ketika menyatakan begabungnya kraton Yogyakarta dengan Republik Indonesia.

Song of Sabdatama ditulis dalam tiga bahasa; Jawa, Indonesia dan Inggris, sebagai kabar kepada publik luar tentang tekad yang membara, berbeda dengan Jogja Istimewa yang lebih ditujukan ke dalam. Seperti banyak komentar terhadap lagu Jogja Istimewa, kebanggaan kadang bisa dilihat sebagai arogansi bagi mereka yang tidak mengenal akar permasalahannya.

Song of Sabdatama dirilis dalam dua versi, yang kedua versi kolaborasi dengan rapper Inggris, Akala (The Hip Hop Shakespeare), yang akan dirilis oleh British Council dalam rangka Seminar Bahasa Internasional pada bulan Juni 2012. Beberapa lagu dengan lirik tiga bahasa juga akan terus diproduksi JHF sebagai persiapan tour 10 kota di Amerika bulan November 2012.


Lyric Song of Sabdatama

Hook
We are from Jogja
The heart of Java
Our rhyme is mantra
Flows down like lava

We are from Jogja
The heart of Java
Our culture is weapon
Yeah, this Song of Sabdatama

Verse M2MX
Merapi ya iku, Keraton ya iku, Segara ya iku, Pancer ing Tugu
Mijil tuwuh saka kono dumunungku
Yo Ngayogyokarto Hadiningrat Negeriku
Nagari gemah ripah kang merdika
Kaya kang kaserat ing Sabdatama
Merapi ngelingake marang ing gusti
Segara ngelingake kudu ngidak bumi

Verse Balance
Ngono kuwi jiwa Jawi
Manunggaling kawula Gusti
mBalung sungsum pada diugemi
Minangka tekad dadi sesanti
Sadumuk bathuk sanyari bumi,
Ditohi pecahing dada luntaking ludira nganti pati
Negeri merdika bakal tak belani

Hook

Verse Kill the DJ
Merapi horeg, laut kidul gedeg
Angin ribut, udan bledek
Tanda bumi reresik nandang gawe
Marang donya lan manungsane
Marang sedulur sikep kudu ngajeni lan ngopeni
Bumi pertiwi adalah saudara kami
Yang harus dijaga dan dihormati
Menerima sekaligus memberi
Budaya adalah senjata
Memanusiakan manusia
Bangun jiwanya, Bangun raganya
Sentausa dalam puspa warna

Hook

Verse Ki Ageng Gantas & Radjapati
In our land where we stand
Never afraid coz we all friends
We may vary but hand in hand
Appreciate and understand
Why democracy if occupied by oligarchy?
Nggo opo demokrasi nek mung ngapusi?
Why religion if only to kill humanity?
Nggo apa agama nek mung mateni
Hey oxymoron, you don’t need to teach me
Rasah nggurui merga ora migunani
What Jogja want is harmony in diversity
Urip iku amrih nemu harmoni
We don’t care of what you say
Your ridiculous words will go away
Coz in this land where we stand
We’ll fight to the death until the end

Hook

 

Intel Visibly Smart – Jogja Hip Hop Foundation

Akhirnya video Intel Visibly Smart yang bercerita tentang Jogja Hip Hop Foundation (JHF) secara singkat ini diluncurkan juga. Kami sangat berbangga atas kerjasama mutualis dengan Intel Inside ini, dimana telah menempatkan kami tetap sebagai diri kami sendiri dengan segala kemandirian dan idealisme yang kami percaya dan telah kami bangun selama ini. Sebuah apresiasi atas dedikasi yang membanggakan.

Semoga video ini bisa bermanfaat bagi yang melihatnya.

Terima kasih.

Kill the DJ

Mantra-Mantra Jawa di New York

Akhirnya mimpi itu terwujud juga. Prosesnya sangat berbelit, tidak gampang menghadirkan Jogja Hip Hop Foundation (JHF) ke New York.

Pertama, banyak masalah teknis sehingga pementasan ekslusif JHF di New York ini harus mundur hingga tiga kali sejak Desember 2010, kemudian Januari 2011, dan akhirnya terlaksana Mei 2011.

Kedua, bagaimana memberikan konteks yang tepat pementasan ekslusif ini kepada publik di New York, mengingat JHF menggunakan lirik dan musik hip hop yang berpijak pada akar tradisi Jawa.

Namun dengan komitmen yang tinggi dari Asia Society, sebuah institusi prestisius pertukaran seni dan budaya antara Asia – USA, akhirnya berhasil menghadirkan JHF di New York, sebuah group hip hop Indonesia pertama yang konser secara ekslusif di kota kelahiran musik hip hop.

New York bukanlah kota yang mudah untuk ditaklukkan. Namun New York juga kota yang sangat multikultur, dimana orang dari seluruh dunia ada di sana, dengan demikian New York bisa menerima dan menghargai perbedaan.

Rachel Cooper, sebagai direktur program seni pertunjukkan Asia Society, mengkonfirmasikan kepada saya seusai pentas;

“Awalnya saya sempat khawatir dengan publik Amerika yang skeptis terhadap program ini, Java Hip Hop? So what? Tapi setelah pertunjukan merasa lega, karena JHF sangat pandai mengikis perbedaan dengan komunikasi yang dibangun diatas panggung”.

Mendengar hal itu, saya kemudian melihat diri kami sendiri. Bagi kami, JHF adalah realitas, bukan sekedar produk yang diciptakan, kami selalu menikmati musik dan panggung dengan gairah yang penuh dan jujur. Kami selalu percaya, bahwa kejujuran akan membawa penonton masuk ke dalam jiwa pertunjukkan dan mengikis segala perbedaan, termasuk bahasa.

Seluruh penonton di auditorium itu menangkap energi yang kami berikan, hingga meninggalkan kursi dan berdiri untuk bergoyang mengikuti hentakan musik hip hop dalam bingkai mantra-mantra Jawa. Seni selalu bisa menjebatani perbedaan, membangun kesepahaman, memanggil jiwa manusia untuk saling berbincang dalam bahasanya sendiri.

Seperti halnya seniman tradisional yang agraris, kepada musik, kepada panggung, kami selalu percaya. Bukan kepada yang lain.

Seminggu di New York, adalah bingkai waktu yang spesial bagi kami, ini adalah kota dimana rap musik dan kultur hip hop lahir. Orang menyebutnya perjalanan ke New York adalah naik haji ala hip hop.

Seluruh crew JHF sangat senang bisa menghadiri block party di distrik Bronx, dimana rap musik lahir di sana, berfoto bersama legenda, dan menikmati attitude yang kasar khas distrik tersebut.

Selain itu kami juga menyempatkan diri membuat klip dengan mengambil lokasi di Time Square NYC, bernyanyi di tengah kerumunan dan mengundang perhatian publik. Kami benar-benar menguasai ruang publik itu. Sebuah komentar twitter saya pinjam untuk menggambarkan situasi ini;

“a Java Hip Hop Crew with Batik shirt, oversized pant, with no lots of jet leg, hit Time Square NYC”.

Pada dua hari terakhir, teman-teman berbelanja seperti orang gila. Membeli aneka cindera mata untuk orang-orang tersayang. Seolah tidak ada hari esok, seolah kami tidak akan bisa kembali lagi ke New York.

Namun oleh-oleh yang paling menggembirakan adalah proposal dari Center Stage US, sebuah program yang menawarkan proposal tour 10 kota untuk JHF tahun 2012.

Sepulang dari New York, kami merencanakan sebuah konser di tengah kampung dengan sound system seadanya, dari sana kami berasal.

Kill the DJ