Sedulur & Cerita Dibalik Lagu

Kembali

Setelah dua tahun, akhirnya secara kolektif Jogja Hip Hop Foundation (JHF) kembali mempunyai karya baru berupa single berjudul “Sedulur” lengkap dengan video musiknya. Tercatat JHF merilis karya terakhir berupa single “Jogja Ora Didol” (Juni, 2014), artinya sudah dua tahun lebih. Banyak cerita yang terjadi di rentang waktu itu yang tidak pernah dipublikasikan secara resmi dan hanya menjadi desas-desus. Melalui tulisan ini ijinkan saya bercerita secara personal.

Single Sedulur menandai kembalinya saya, Marzuki Mohamad alias Kill the DJ, yang sudah lebih dari setahun istirahat dari JHF karena tidak mau lagi menyanyikan lagu “Jogja Istimewa” dengan alasan; janji Keistimewaan Jogja untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sama sekali tidak terbukti, untuk tidak menggunakan kata bohong. Itu sebuah pilihan yang sulit buat personil JHF yang lain, sebab bagaimanapun lagu “Jogja Istimewa” adalah pencapaian luar biasa yang telah membawa kami sedemikian jauh, meskipun ketika lagu tersebut diciptakan tidak pernah dimaksudkan untuk tujuan politis, sekedar mengaktualisasi nilai-nilai tradisional yang berlaku di Yogyakarta yang kebetulan bertemu dengan momen keistimewaan yang memanas.

Begitulah saya, bisa sangat terlibat sekaligus segera mengambil jarak, sebagaimana di Pilpres 2014 di mana saya tercatat sebagai musisi pertama yang pembuat lagu dan video dukungan untuk kampanye Jokowi untuk kemudian segera mundur setelah Pilpres selesai. Hingga sekarang saya juga sama sekali belum pernah secara langsung berusaha mengakses Dana Keistimewaan ketika seniman/institusi lain banyak yang meributkannya. Pernah terjadi sebatas kompensasi atas kesalahan Dinas Kebudayaan menggunakan lagu JHF tanpa ijin copy right, tentu saja lagu kami bukan milik negara. Saya selalu yakin bisa menciptakan jalan sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Saya juga yakin banyak teman yang kecewa dengan kondisi Jogja paska Keistimewaan.

Karena tidak ada titik temu dalam menyikapi tidak maunya lagi saya menyayikan “Jogja Istimewa” dan hal tersebut adalah prinsip, saya memutuskan untuk sementara mundur dari JHF hingga waktu yang tidak ditentukan. Banyak cerita di mana order manggung batal gara-gara tidak ada nama Kill the DJ di JHF, tentu saja. Jarang manggung bisa jadi menjadi malapetaka buat personil JHF yang lain, saya peduli akan hal tersebut tapi saya tidak bisa berbuat banyak karena saya sedang tidak aktif.

Sementara buat saya pribadi, tidak manggung dan sangat memilih panggung bukan masalah, karena saya selalu berpikir tentang intelektual properti dan turunan kapitalisasinya atas apa yang sudah saya kerjakan. Sehingga saya tetap bisa memiliki penghasilan meskipun tidak manggung. Hal yang sulit saya terapkan bahkan buat teman-teman di JHF sendiri.

Salah satu contohnya, Balance tetap saja menjadi ghost producer untuk banyak musisi hip hop di Indonesia, bahkan hingga Singapura dan Malaysia, tanpa pernah mendapatkan right atas penjualan album dan right ketika lagu tersebut dimainkan karena semuanya beli putus.

thumb_img_0650_1024
Konser Amal #GugurGunung untuk #Aceh adalah konser resmi pertama saya kembali manggung bersama Jogja Hip Hop Foundation

Goyang Senggol; Album Yang Tidak Akan Pernah Dirilis

Sekitar tiga tahun lalu, awal 2013, saya membuat konsep hip hop dangdut untuk JHF, proyek album itu kami beri titel “Goyang Senggol”, tapi akhirnya konsep itu terbengkalai dengan berbagai alasan;

Pertama, bisa jadi personil JHF yang lain tidak berani mengambil resiko atau tidak tertarik dengan konsep hip hop dangdut campursari yang saya gagas. Masalahnya hal tersebut tidak terungkap secara gamblang. Setelah sekian lama bekerja bareng, buat saya hal-hal seperti ini seharusnya bisa didiskusikan secara terbuka dari awal ketika konsep dirumuskan. Ketika “Goyang Senggol” mulai digodok di studio yang terjadi justru mlemplem tanpa semangat penciptaan yang besar, baru belakangan diketahui mereka tidak nyaman dengan konsep “Goyang Senggol” tersebut.

Kedua, tidak semua orang memiliki visi dan mampu memperjuangkannya. Saya sudah memprediksi tiga tahun yang lalu, sementara buat personil JHF yang lain mungkin baru-baru ini saja bengong melihat fenomena NDX. Tentu saja saya tidak ingin membawa JHF menjadi seperti NDX. Dari sudut pandang pribadi, konsep “Goyang Senggol” adalah creative refreshment setelah sekian lama JHF dikenal dengan lirik dan musik “adiluhung” juga lirik-lirik yang ditulis Sindhunata di album “Semar Mesem – Rama Mendhem”. Ada titik di mana musisi tidak mampu membuat karya lebih bagus lagi, kemudian penggemar kecewa dengan album baru, untuk kemudian kembali puas dengan album berikutnya. 

Ketiga, semua personil JHF mendekati umur 40, jika memang benar bahwa life begins at forty, mungkin teman-teman sedang bimbang dengan pilihan antara terus bermusik atau pindah haluan. Atau menyikapi hip hop sebagai samben alias hobby atau kerja sampingan. Akhir 2015, Anto Gantaz pernah pamit dari JHF karena diwarisi tanggungjawab bisnis keluarganya. Meskipun sekitar lima bulan setelahnya dia kembali aktif di JHF. Sementara Mamox hidup dan matinya oleh dan untuk hip hop, artinya ada soal totalitas yang sebenarnya tidak sejalan. Determinasi yang saya miliki tidak akan berjalan maksimal dengan kondisi demikian.

Karena menemui jalan buntu, pada akhirnya saya menyulap konsep “Goyang Senggol” menjadi album “Kewer-Kewer” bersama Libertaria, unit elektronika yang sudah lama saya gagas bersama Balance. Dan proyek “Kewer-Kewer” benar-benar saya sikapi sebagai refreshing bersama teman-teman kolaborator; Glenn Fredly, Farid Stevy, Paksi Raras, Heruwa, Riris Arista, Brodod, dll. Bersama Libertaria saya juga merilis single “Ora Minggir Tabrak” untuk AADC2, “Lebaran”, dan “Together We Are More” bekerjasama dengan Guinness. Saya dan Balance menyikapi Libertaria adalah kanal untuk hal-hal yang tidak mungkin dikerjakan bareng JHF.

Sayangnya saya harus mengurangi intensitas kerja karena saya mengalami kecelakaan yang mengakibatkan otot ACL Ligamen saya putus, saya harus menjalani operasi layaknya atlet dan tidak bisa berjalan normal selama berbulan-bulan.

Dedikasi & Determinasi

Selama rentang waktu dua tahun itu, kami juga mengalami manajeman yang berantakan. Pada Juni 2015, Dita, manajer JHF, kami berhentikan karena terlalu sibuk dengan pekerjaan lain di luar JHF, di mana itu membuat kinerja manajemen kami tidak berjalan dengan baik dan penjualan merchandise terpaksa kami hentikan. Tapi hal-hal tidak bisa dinilai di permukaan saja, segalanya ada sebab dan akibat.

Sebelumnya di berbagai kesempatan, Dita sudah berulangkali mengeluhkan bahwa personil JHF tidak cukup berdedikasi atas profesinya sebagai musisi, hal yang membuat dia kehilangan semangat dan tidak bisa lagi bekerja sepenuh hati seperti pertama kali bekerja untuk JHF. Saya membenarkan hal tersebut. Bakat tidak akan menjadi apa-apa tanpa dedikasi, di mana hal itu menuntut pengorbanan dan determinasi. Seberapa besar kita berjuang itulah hasil yang akan didapatkan. Jika setengah-setengah hasilnya juga akan setengah-setengah.

Buat saya, sama sekali tidak penting berdebat siapa yang bisa ngerap paling bagus, bahkan berulang kali saya secara gamblang menyatakan di berbagai media interview, bahwa rap skill saya paling buruk dibandingkan personil JHF yang lain. Saya perlu rutin berolahraga dan latihan vokal setiap hari untuk bisa mempunyai energi dan karakter seperti di single “Ora Minggir Tabrak”. Sementara yang lain mungkin bakatnya sudah bawaan dari lahir. Tapi faktor keberhasilan bukan terletak pada skill dan bakat, sebab musik bagus saja tidak akan pernah cukup, banyak turunan pekerjaan yang lain yang menjadi penentu keberhasilan setelah musik diciptakan.

Bagaimanapun Dita adalah teman kerja saya dengan standar yang paling tinggi bahkan jika dibandingkan dengan personil JHF yang lain. Segala hal bisa dibicarakan meskipun juga sering berantem. Setelah dia berhenti dari manajeman JHF, saya tetap sering bekerja dengannya untuk proyek-proyek khusus di luar JHF.

Radjapati Mengundurkan Diri

Single “Sedulur” juga manandai keluarnya Lukman Hakim a.k.a Radjapati, tepatnya terjadi di pertengahan Ramadhan 2016 lalu. Alasannya sangat personal, yaitu ajaran agama membatasi dirinya, sementara bagi yang lain agama adalah urusan masing-masing. Masalahnya bukan ajaran agama seperti apa yang kita anut, melainkan jika sudah menghambat kerja secara kolektif maka harus dibicarakan dalam koridor profesional. Sebuah tuntutan yang sulit diwujudkan bagi karakter personil JHF lain yang “nJawani”, hingga akhirnya pada suatu malam dengan susah payah kami mampu membicarakannya, hasilnya Lukman Hakim memilih untuk mundur dari JHF dan kami harus bisa menghargai pilihan tersebut.

Di sisi lain, keluarnya Lukman Hakim saya akui sebagai salah satu syarat bagi saya untuk sudi kembali memberikan energi dan memikirkan JHF. Mungkin kedengaran kejam, tapi secara profesional sama sekali tidak. Di umur 40 saya sudah tidak rela menghabiskan energi untuk membela sebuah unit tanpa dedikasi, yang lebih penting lagi tidak berintegritas, dan yang jauh lebih penting dari semua itu adalah pertemanan yang hangat tanpa rasa canggung.

Pada suatu malam saya berdiskusi mendalam dengan Antok, tentu saja dia adalah kompatriotnya Lukman di Rotra, saya ungkapkan bahwa saya lebih besar dari semua yang sudah kita capai bersama, tapi kenapa saya tetap mau memikirkan JHF? Dedikasi bisa dijadikan nomer sekian, buat saya tidak mengapa jika teman-teman menyikapi hip hop sebagai samben, saya tetap bisa membelanya, tapi integritas dan pertemanan tidak bisa ditawar.

Peristiwa demi peristiwa di JHF selama dua tahun terakhir membuat saya terngiang bagaimana Erix Soekamti mulai giat belajar membuat video ketika saat itu dia masih kagum dengan film dokumenter Hiphopdiningrat (2009) yang dirilis JHF, sebuah film dokumenter panjang pertama tentang grup musik yang dirilis di Indonesia, dan sekarang silahkan menilai sendiri profil Erix seperti apa.

Sebenarnya saya tipe orang yang tidak peduli dengan urusan-urusan pribadi ketika bekerja, tapi di sisi lain, sebuah kolektif musik semacam JHF seharusnya bisa seperti keluarga. Hal yang sulit diwujudkan jika segalanya tidak bisa dibicarakan secara terbuka dan tidak punya waktu untuk ‘nakal’ bareng. Harus diakui itulah yang terjadi di JHF hingga akhirnya kami harus bersusah payah untuk membongkarnya. Memang banyak kasus di generasiku, orang Jogja bingung memisahkan relasi teman dan kerja.

Penciptaan Sedulur

Sengaja saya tidak serta merta mengajak JHF membuat karya bareng begitu konsolidasi internal dilalui dengan sangat melelahkan. Di tengah kesibukan pribadiku yang saat itu padat, saya lebih sering ngajak bermain, nongkrong bareng sembari membicarakan hal-hal yang tidak penting, hingga chemistry-nya kembali ketemu, supaya ketika nanti masuk studio sudah tidak ada lagi beban personal di antara kami. Semangat idealnya adalah “reborn”, JHF benar-benar terlahir kembali. Cita-cita berkarya lewat hip hop berbahasa Jawa sampai tua kembali menyala.

Setelah empat bulan, kami akhirnya masuk studio dengan banyak peralatan baru yang di-investasikan, hingga saya belanja peralatan audio visual baru untuk bisa menggarap video kapan saja. Saya mengibaratkan situasi ini seperti hipster kekinian yang membeli banyak apparel sebagi mood booster ketika memulai niat berolahraga. Semoga saja tidak patah semangat setelah lari pertama kali dan esoknya mendapati badanya remuk pegel-pegel karena ototnya kaget.

Lagu “Sedulur” yang sudah sejak lama kami impikan akhirnya bisa kami garap, seharusnya lagu tersebut diciptakan untuk para penggemar kami yang menamakan dirinya “Sedulur” sebagai bentuk ucapan terima kasih atas dukunganya selama ini, juga permohonan maaf dari kami untuk para penggemar setalah sekian lama tidak merilis karya baru. Atas pertimbangan situasi terkini di mana intoleransi semakin memanas, lagu tersebut akhirnya ditulis untuk kalangan yang lebih luas.

Di sini lah alasan kenapa integritas bisa lebih penting dari dedikasi? Buat apa kita ngomong hal-hal besar jika kita tidak bisa menerapkannya di lingkungan terkecil kita. Kita tidak bisa menyuarakan anti korupsi sementara sebenarnya kita korup. Kita tidak bisa bicara toleransi sementara sesungguhnya kita intoleran. Sebelum menunjuk dan menghakimi orang lain, lebih baik melihat dan menceritakan diri-sendiri. Integritas adalah nilai yang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun, termasuk seberapa uang yang bisa kita dapat.

Maka, sebagaimana karakter semua video klip JHF yang selalu semi dokumenter sederhana, kami menggarap video “Sedulur” dengan setting perayaan Natal. Antok dan Mamox terlahir sebagai Katolik, sementara Balance dan saya muslim, kami tidak pernah punya masalah dengan hal itu. Termasuk saling mengucapkan di hari raya masing-masing. Ditambah kerabat dan teman-teman yang biasa bekerja bareng kami, jadilah video klip “Sedulur” seperti yang sudah kami publikasikan di Youtube tersebut. Silahkan menilai sendiri, semoga bermanfaat bagi siapa saja yang melihat dan mendengarnya.

It’s Alright To Be Wrong

Sekali lagi tulisan ini adalah sudut pandang personal saya, tapi bagaimana pun JHF memiliki penggemar dan sudah seharusnya mempunyai tanggung jawab publik untuk mengabarkan semua hal yang terjadi. Sebagai pendiri kolektif JHF dan sebagaimana 13 tahun lalu saya bertanggungjawab secara penuh atas apa yang terjadi di JHF, maka hal-hal untuk sementara kembali saya kabarkan secara personal hingga manajemen kembali bekerja normal.

Setelah semua peristiwa yang kami lalui tersebut, kami berjanji untuk kembali sering menyapa melalui karya-karya kami yang khas. Tidak mengapa salah dan tersesat jika kemudian kita menemukan diri kita menjadi lebih baik. Membuat atau menciptakan sesuatu memang lebih mudah dari pada merawatnya.

Melalui tulisan ini saya juga mengumumkan tidak masalah kembali menyanyikan lagu “Jogja Istimewa” dengan tujuan untuk mengingatkan kembali nilai-nilai yang harus dijunjung di lagu tersebut terutama kepada para pejabat pemerintahan di DIY, dan yang lebih penting menuntut janji cita-cita keistimewaa untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

It’s alright to be wrong… dan tulisan ini sudah terlalu panjang meskipun masih banyak printilan cerita yang bisa disampaikan.

Terima kasih atas perhatiannya.

Salam Paseduluran

Kill the DJ

Lebaran by Libertaria

Dalam video ini, kami menampilkan semua teman-teman yang biasa bekerja membantu di balik layar atau panggung berbagai proyek Libertaria, sebuah pesan bahwa lebaran bukan hanya perayaan agama, melainkan sudah menjadi tradisi, sebagaimana mudik; mulih dhisik atau pulang dulu. Kami ingin mengenang kembali masa kanak-kanak kami ketika lebaran menjadi perayaan milik siapa saja apapun agamanya.

Lirik lagu ini mengeksplorasi filosofi makanan kupat (ketupat) dalam tradisi Jawa sebagai simbol hari lebaran. “Kupat” adalah akronim “kula lepat” yang berarti “aku mengaku salah”. “Kupat” juga berarti “laku papat” yang berarti “empat perkara”, yaitu; 1) Lebaran: bulan puasa sudah lebar atau selesai 2) Leburan: semua salah dan dosa dilebur atau diampuni 3) Luberan: berbagi rejeki berlimpah 4) Laburan: labur adalah cat kapur berwarna putih, perlambang hati yang bersih.

lebaranoutknow

Selamat mudik, selamat berkumpul dengan orang-orang tersayang, selamat lebaran, mari kita jadikan lebaran sebagai sebuah perayaan bersama dan berbagi kegembiraan kepada sesama.

Ana kupat kecemplung neng njero santen, menawi lepat kawula nyuwun ngapunten.

Mohon maaf lahir dan batin.

Terima kasih & Salam

Libertaria & Kill the DJ

Dangdut Adalah Darah Kita

Bagi fans yang baru mengenalku karena Jogja Hip Hop Foundation (JHF), pasti saat ini sangat heran kenapa aku membuat unit elektronika bernama Libertaria dan tiba-tiba menghentak lewat single “Ora Minggir Tabrak” di film AADC 2. Aku jamin mereka akan semakin bertambah heran karena Libertaria sebentar lagi akan merilis album “Kewer-Kewer” dengan tagline “post dangdut elektronika”.

Dangdut? Iya!

Tahun 2004, sahabatku Ifa Isfansyah, sutradara film Garuda di Dadaku itu, mempertanyakan keputusanku kenapa banting strir ke hip-hop, saat itu publik mengenalku sebagai perupa dan musisi elektronika, apa tidak sayang dengan segala pencapaian-pencapaian yang sudah diraih? Jawabanku sederhana dan singkat, waktu akan menjawab dan membuktikan. Post dangdut elektronika adalah proyek musik yang aku impikan sekitar lima tahun lalu, akan tiba saatnya dimana aku akan meproduseri album dangdut. Tentu saja aku tidak bisa memaksakan konsep seperti ini kepada teman-teman JHF.

Setelah era Iwan Fals dengan lagu-lagu yang pedas mengkritik rezim Orde Baru dengan bahasa yang mewakili seluruh lapisan masyarakat Indonesia, tidak ada lagi musisi yang mengambil peran itu. Generasi musik kritik yang muncul berikutnya mempunyai kelas intelektualitas yang berjarak dengan realitas sosialnya. Betapa pun aku suka dengan lagu-lagu Efek Rumah Kaca contohnya, tetanggaku di desa tidak paham dengan bahasa yang digunakan dan tidak bisa menikmati musiknya. Ketika aku nongkrong bersama pemuda di desa, mereka protes jika aku memutar lagu-lagu ERK dan segera digantikan lagu-lagu dangdut atau Koes Ploes-an

Kadang kita ingin menyuarakan berbagai persoalan di negeri ini tapi bahasa kita tidak terpahami. Komunikasi yang baik bukan tentang intelektualitas, bukan tentang gaya, bukan tentang seberapa banyak buku yang kita baca. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang bisa dimengerti oleh pendengarnya. Tentu saja gaya bertutur dan ekspresi itu pilihan masing-masing yang tidak perlu diadili. Saat ini aku ingin berbicara dengan lapisan masyarakat terbawah dengan media yang diamini oleh mereka, media itu adalah dangdut, bukan yang lain.

artwork-LIBERTARIA

Kadang aku berpikir bahwa dangdut adalah solusi untuk berbagai persoalan di negeri ini. Lihat saja, dari kawinan hingga pemilu, rakyat bergoyang tanpa ragu, seharusnya dengan dangdut negara ini bisa maju. Mungkin motto pemerintahan Jokowi “kerja, kerja, kerja” itu lebih pas diganti dengan “dangdut, dangdut, dangdut”. Sebab melalui dangdut aku menemukan banyak frase menarik seperti; orang miskin dilarang mabuk, rakyat bergoyang tak bisa dikalahkan, goyanganmu goyanganku juga, dll.

Beberapa review album Kewer-Kewer yang paling menarik menurut saya:

Kehidupanku di desa membantuku memilih kata-kata yang sangat sederhana. Aku tidak bisa ngobrol dengan tetanggaku di desa sambil mengutip kata-kata intelek dari buku-buku yang aku baca. Seberapa pun berat dan rumit persoalan atau tema yang akan dinyanyikan, semua lirik lagu di album “Kewer-Kewer” aku tulis dengan bahasa yang paling gampang dipahami. Tentu saja itu sangat berbeda dengan cara berpikirku ketika aku menulis lirik rap seperti pada single “Ora Minggir Tabrak” contohnya, itu murni ekspresi tanpa peduli orang akan paham atau tidak.

Aku beruntung mempunyai teman-teman yang percaya dengan pemikiranku dan mau terlibat dalam proyek ini; mulai dari co-produserku Balance, Glenn Fredly, Heru (Shaggydog), Farid Stevy (FSTVLST), Riris Aristha (penyanyi orgen tunggal asli), hingga teman-teman gitaran nongkrong sambil menenggak anggur kolesom yang menjadi kolaborator. Aku sangat berterimakasih untuk semuanya, selebinya aku bersyukur masih dikaruniai keberanian untuk melakukan hal-hal gila ketika umurku sudah menginjak kepala empat ini.

Follow akun sosial media resmi Libertaria dan tengok libertaria.id untuk update tentang proyek ini !

Secara musikal, kami di Libertaria sangat senang dengan hasil album ini. Tapi sekali lagi, musik bagus saja tidak cukup, ada banyak turunan pekerjaan setelahnya hingga musik dan pesan yang ingin kita sampaikan bisa sampai kepada pendengar yang kita tuju. Ketika musik kita belum diapresiasi secara luas, pilihan paling gampang adalah bersikap arogan menyalahkan pasar, mengadili publik yang belum siap, padahal sikap itu hanya membuktikan bahwa kita kurang bekerja keras. Saat ini team Libertaria sedang bekerja agar album “Kewer-Kewer” sukses membuat Anda bergoyang dan mengamini bahwa “dangdut adalah darah kita”.

Prambanan, Mei 2016

Marzuki Mohamad a.k.a Kill the DJ

 

 

Ora Minggir Tabrak (Kill the DJ x Libertaria)

Songs Credit

An AADC2 film self release soundtrack | produced by Marzuki Mohamad a.k.a Kill the DJ & Balance | video music by Achong Panuju & X-Code film | distributed by DoggyHouse Records | (c) 2016

Video Klip

Audio

 

[Lirik] Ora Minggir Tabrak

Nggir Ra Minggir Tabrak 

Kalo tidak minggir akan ketabrak

Mijil-tuwuh, urip-urup, muksa-pati

Lahir-Tumbuh, Hidup-Menghidupi, Hilang-Mati

Esuk-awan, surup-sirep, rina-wengi

Pagi-Siang, Senja-Menghilang, Datanglah Malam

Saiki, neng kene, ngene, dilakoni

Sekarang, di sini, begini, dijalani

Semeleh, kudu gelem, lan nggelemi

Ikhlas, harus mau, dan memang mau

Wiji wutuh, wutah pecah, pecah tuwuh, wiji maneh

Biji utuh, jatuh pecah, pecah tumbuh, kembali menjadi biji

Laku, lakon, dilakoni kanthi semeleh

Laku, perjalanan, dijalani dengan ikhlas

Obah mamah, mingset nggeget, nyikut nggrawut, ngglethak penak

Bergerak makan, mengecil menggigit, sikutan cakaran, rebah berbaring

Nggir ra minggir tabrak wong urip kudhu tumindak

Kalau tidak minggir akan ketabrak, hidup harus dijalani

[Inggris Klaten]

Seconds, minutes, hours, to a day

Born to life, getting old, die anyway

Time never stops, the past always locked

Face it, Bravely, Be Crazy, Be Hungry

Right here, Right now,

And what will happen tomorrow?

We never know, so let it flow, let it grow

 

 

Hidup itu Harus, Mati itu Pasti !!!

.IMG_1077

Aku menulis lirik untuk soundtrack AADC2, yang sebentar lagi track tersebut akan self-release dan bisa kalian unduh bebas, seperti ini:

seconds, minutes, hours, to a day / born to life, getting old, die anyway / time never stop, the past always locked / face it bravely, be crazy, be happy, be hungry / right here, right know, coz what will happen tomorrow we never know / let it flow, let it grow

Di verse sebelumnya ada paragraf bahasa Jawa yang lebih panjang dan aku merasa energetic karena menggunakan bahasa ibu ku tidak seperti verse Inggris-ku yang berlogat Klaten itu, berikut petikannya:

saiki, neng kene, ngene, dilakoni / semeleh kudhu gelem lan nggelemi (sekarang, di sini, begini, dijalani / pasrah, harus mau, dan mau melakukannya

Teman-teman, hari ini aku menulis blog ini tepat di hari di mana aku genap berusia 40 tahun. Kata orang “life begins at forty” dan sesungguhnya aku masih bingung dengan konsepsi itu. Tapi seberapa pun besar usaha kita untuk menolak menjadi tua, umur kita akan selalu bertambah dan menjadi tua adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari. Yang selalu aku harapkan adalah bahwa aku tidak akan pernah takut menjadi tua, aku hanya takut menjadi mlempem dan tidak bersemangat, takut menjadi mapan dan tidak mau lagi mencoba hal-hal baru, terutama dalam berkreatifitas untuk mewujudkan karya demi karya sesuai dengan passion-ku.

IMG_4106
foto ketika kami tidur di barak pengungsian

Ngomong-ngomong tentang ulang tahun, sebetulnya aku bingung, sebab aku tidak memiliki tradisi perayaan ulang tahun, bapak-ibuku yang Jawa-Islam tidak pernah merayakan ulang tahunku sama sekali, mungkin karena keluarga kami miskin dan menganggap ulang tahun tidak penting untuk dirayakan. Aku tidak pernah menyesal atau pun kecewa karena keluargaku tidak pernah merayakan ulang tahunku. Barangkali benar adanya bahwa perayaan ulang tahun itu memang tidak penting, toh itu hanya membuat kita tersadar bahwa kita semakin bertambah tua dan cepat atau lambat akan mati.

Aku mulai merasakan perayaan ulang tahun sejak memiliki pacar sungguhan, tepatnya ketika kelas 1 SMU, sebelumnya aku tidak peduli sama sekali dengan hari ulang tahunku. Setelahnya, semua perayaan ulang tahunku terjadi karena pacar demi pacar. Tidak ada yang perlu diperbandingkan karena semuanya sangat berkesan, sebab cinta tidak pernah salah dan bohong, semua pacarku baik. Setelah itu aku baru bisa merasakan makna perayaan ulang tahun, yaitu hanya bertambah tua dan semakin tidak berguna untuk digantikan dengan generasi yang lebih muda lagi brilian :-p

Ijinkan aku sedikit bercerita perayaan ulang tahun dua tahun lalu (2014), waktu itu aku merayakan ulang tahun bersama ribuan pengungsi eruspi Gunung Kelud di barak pengungsian Kota Batu. Sungguh, aku tidak peduli bahwa bapaknya pacaraku, Eddy Rumpoko dengan nama besarnya tidak lain adalah walikota Batu, waktu itu aku hanya peduli kepada nasib ribuan pengungsi, kemudian ketika pacarku Ganis Rumpoko menanyakan kepadaku tentang perayaan ulang tahun, aku menjawabnya dengan sederhana; tidak ada perayaan ulang tahun yang lebih hebat dari pada kita berguna bagi sesama manusia, mari kita rayakan dengan melayani para pengungsi.

SONY DSC
Foto ketika aku mengajak anak-anak pengungsi Kelud menggambar. Asalkan jujur dan tanpa pretensi semua gambar adalah bagus buatku.

Waktu itu aku meminta Ganis untuk membeli puluhan seperangkat buku dan alat gambar, kemudian kami mengajak anak-anak menggambar bersama, gambar yang bercerita tentang segala hal tentang diri mereka, bukan tentang diriku yang sedang ulang tahun. Kemudian gambar-gambar itu kami pamerkan di posko pengungsian agar semua pengungsi dan pengunjung melihat, dengan harapan mereka paham persepsi anak-anak yang sangat jujur menyikapi bencana. Aku selalu berharap kelak bisa menceritakan semua persepsi jujur anak-anak tentang bencana dalam sebuah buku. Hingga saat ini aku masih menyimpan gambar-gambar itu, sebagaimana aku menyimpan rapi semua dokumen dari Tsunami Aceh, Gempa Jogja, Erupsi Merapi, Sinabung, dll.

Sebagai orang yang sedari kecil dididik dengan ajaran Islam, ternyata saat ini aku tidak mau ambil pusing tentang kebenaran menurut agama –bahkan mungkin hingga orientasi seksual. Terserah masing-masing, yang paling penting kita bisa berguna bagi sesama. Aku tidak peduli kepada konsep surga dan neraka, sebagaimana Budha yang kamanungsan, aku hanya bisa selalu berharap semoga semua makhluk berbahagia, termasuk diriku sendiri dan semua mantan pacarku tentu saja :-p

Hidup itu harus, mati itu pasti !!!

Prambanan, 21 Februari 2016

Kill the DJ

Berselancar Bersama Zaman

 

berselancar bersama zaman

Anak muda dengan fashion hip hop, naik motor matic sambil kepalanya manggut-manggut menikmati musik old skool via ear phone, sesekali mulutnya menggumam kecil f*ck the police. Tapi begitu kena razia kendaraan bermotor, mendadak berubah jadi culun dan nyogok pak polisi karena tidak punya SIM atau STNK.

Begitulah gambaran hip hop di Indonesia secara umum, terjebak pada fashion namun minim pembuktian. Bukan berarti tidak ada, tapi masih sangat kurang. Diskusi-diskusi di forum internet paling tidak masih menggambarkan hal itu. Hip hop harus begini harus begitu. Tidak boleh begini tidak boleh begitu. Meskipun perdebatan ideologi selalu penting, tapi buat saya tidak perlu sampai menghakimi.

Sebagaimana genre lain, hip hop berkembang seiring zaman dan bersinggungan dengan disiplin lainnya. Sementara Lil Wayne sudah bekerja bareng Diplo, kita masih terjebak pada perdebatan halal dan haram. Tentu setiap orang punya pilihan dan itu hak masing-masing, boleh selamanya old skool dan memuja real hip hop, boleh juga berlanggam keroncong atau goyang dangdut. Tapi percayalah, yang menentukan hidup dan matinya hip hop bukan kita. Hip hop tidak perlu dibela.

Sayang, dalam sejarahnya di Indonesia, sesungguhnya banyak praktisi hip hop yang hanya cukup puas berkutat di komunitasnya saja, sangat elitis dan sombong, namun kurang pede untuk keluar dari lingkarannya untuk menantang dunia yang lebih luas. Itu bukan masalah musik bagus, tapi mentalitas dan cara pandang. Hasilnyaya gitu-gitu saja. Panas di dalam komunitasnya tapi dunia sebenarnya tidak tahu bahwa mereka ada.

Sebagaimana sering saya sampaikan, musik bagus saja tidak cukup. Berhentilah mengadili pasar yang tidak paham akan musikmu, berhenti mengadili industri yang ogah-ogahan melirik musikmu. Ganti dengan kerja keras, ciptakan pasarmu sendiri, ciptakan industrimu sendiri, bernafas panjang dan konsisten. Kalau musikmu masih belum didengar banyak orang, berarti kamu masih kurang bekerja keras. Itu saja.

Zaman berkembang, kehadiran internet mengubah paradigma industri musik, sekarang ini seorang musisi lebih mudah secara independen menyebarkan karyanya. Peradaban itu dinamis, tidak statis, begitu juga hip hop. Kita semua hanya punya pilihan: lentur atau meratap. Berselancar bersama zaman dengan riang gembira, atau terpajang di museum bersama kapak batu. Tentu ini bukan berarti sejarah tidak penting.

Akhir tahun lalu saya berkesempatan menyaksikan rapper-rapper dari 34 provinsi di Indonesia dengan gaya masing-masing yang unik. Sangat potensial dan cerah. Saya dibuat percaya bahwa generasi baru hip hop Indonesia itu ada dan lebih rileks mewakili semangat zamannya. Mereka akan muncul dan menulis sejarahnya dengan caranya sendiri tanpa terbebani doktrin-doktrin para sesepuh.

Prambanan, 2 Januari 2016

Marzuki “Kill the DJ” Mohamad

Berbeda itu Biasa

berbeda itu biasa

Akhir Agustus lalu saya menghadiri konser perayaan 20 tahun Superman is Dead (SID) dengan titel “Home Town Riot” di Hard Rock Café Bali. Tujuannya sih bukan melulu untuk nonton konsernya karena sudah terlalu sering bertemu dengan SID, melainkan untuk mengenang peristiwa-peristiwa kecil yang bersinggungan dengan diri saya sendiri sekitar 15 tahun yang lalu, terutama kangen-kangenan dengan Rudolf Dethu, manajer pertama SID, yang juga sedang merilis buku tulisannya, biografi 20 tahun SID berjudul “Rasis, Pengkhianat, Miskin Moral”.

Saat itu awal 2003, mungkin bulan Februari, saya lupa persisnya, saya juga lupa nama café di daerah Legian itu, di mana saya terlibat diskusi ‘panas’ bersama Rudolf Dethu dan Anton Kurniawan (ex manajer Sheila on 7) tentang kemungkinan SID menerima tawaran kontrak dari Sony Music. Kebetulan Sheila on 7 yang saat itu sedang moncer-moncer-nya juga dibawah label Sony Music sehingga Dethu butuh banyak masukan, terutama dari Anton.

Sebagaimana saya, Dethu mengaku lupa detail percakapannya, sebab kami berdua melakukannya sambil minum beberapa shot tequila, mungkin Anton yang bukan peminum miras itu masih ingat detailnya. Tapi secara garis besar pembicaraan mengarah pada, bahwa SID needs more stages dan itu baik untuk mereka dan Bali di masa depan. Saya tidak tahu apa yang didiskusikan Dethu bersama Jerinx, Bobby, dan Eka, setelah itu. Namun pada akhirnya kita tahu bahwa SID memutuskan untuk bergabung dengan Sony Music. Tentu saja setiap pilihan punya resiko dan peluangnya masing-masing. Termasuk cap pengkhianat atau lonthe dari para penjaga ideologi dan aqidah punk-rock di Indonesia yang mengikutinya paska kontrak itu.

Ada suatu waktu di masa-masa itu, saya menemani SID di hotel mereka paska konser di GOR UPN Yogyakarta yang berujung dengan keributan karena diserang oleh penonton gara-gara plintiran isu ‘fuck java’ dan ‘pengkhianat punk’. Hadir juga di sana beberapa teman yang lain, seingat saya ada Heru Shagydog, Erix Soekamti, Gufi, dan masih banyak lagi yang saya lupa. Kita ada di tempat itu untuk memberi pesan damai dan ketenangan bagi rombongan SID, bahwa kita ada bersama mereka.

Segala kasus yang timbul setelah pemukulan terhadap Boby di UPN itu terselesaikan dengan sendirinya, waktu memberikan jawaban akan hal-hal, beberapa teman yang belakangan teridentifikasi melakukan pengeroyokan mengaku malu, pun para personil SID mengaku tidak punya dendam sama sekali akan peristiwa-peristiwa kekerasan semacam itu, yang juga terjadi di beberapa kota lainnya. Sebaliknya, justru menjadi bagian penting dari perjalanan terbentuknya identitas SID dan membuat mereka semakin kuat.

Jika kita melihat SID sekarang yang menjelma menjadi ‘gerakan sosial’, bukan sekedar band, terutama dalam gerakan Bali Tolak Reklamasi, sepertinya tuduhan-tuduhan miring yang dialamatkan kepada mereka ketika memutuskan begabung dengan major label hilang dengan sendirinya melalui pembuktian demi pembuktian. Meskipun sudah menjadi hukum alam, bahwa seiring dengan naiknya popularitas pasti dibarengi dengan lahirnya pembenci-pembenci (haters) berikutnya. Apalagi Jerinx adalah si mulut besar yang gampang terpancing amarahnya. Haha… Tapi saya yakin, jika SID tidak bergabung dengan Sony Music, yang nota bene adalah representasi industri musik mainstream, amplifikasi gerakan sosialnya tidak akan bisa semasif sekarang ini.

Berbicara tentang industri musik dihadapkan dengan idealisme dan ideologi berkarya, sepertinya di Indonesia memang tidak bisa menghakimi hal-hal secara hitam-putih. Ketika sebuah band tampil di sebuah event dengan sponsor perusahaan kretek multinasional, apakah musisi itu serta-merta sedang mempromosikan agar penggemarnya merokok kretek? Di sisi lain, sejarah telah membuktikan bahwa di Indonesia industri kretek lah yang paling konsisten membuat musisi-musisi tampil dari panggung ke panggung hingga ke kota-kota kabupaten.

Apakah dengan kondisi semacam itu kemudian dengan mudah kita bisa menghakimi musisi-musisi itu sebagai hipokrit karena mungkin bertentangan dengan prinsip-prinsip yang sering disuarakannya? Lalu apakah kita bisa memberikan solusi lain agar jantung industri musik tetap berdenyut ketika menghakiminya? Sama halnya dengan sebuah renungan kecil seperti ini: apa yang terjadi jika aktivis anti-rokok datang dan memberikan sosialisasi kepada para petani tembakau untuk tidak menanam tembakau di desaku? Ketoke malah isa dipacul cangkeme.

Ada sebuah cerita lain yang menarik, konon di tahun 70-an Harian Kompas diundang ke istana untuk manandatangani surat perjanjian di depan presiden Soeharto, isinya salah satunya Kompas tidak boleh lagi menulis berita-berita seputar bisnis keluarga Soeharto, atau akan dibredel jika tetap melakukannya. Sungguh sebuah pilihan yang sangat sulit; menentang tapi padam atau berkompromi dengan situasi sulit kemudian merawat dan menumbuhkan api perlawanan diam-diam. Menurut cerita, awak redaksi di dalam Kompas sendiri waktu itu tegang dalam perdebatan. Memilih mengambil peran dan berada di dalam sebuah sistem yang busuk untuk mengubahnya sedikit demi sedikit sama susahnya dengan melawannya dari luar. Meskipun citra yang dihasilkan bisa jadi sangat-sangat berbeda. Tapi kalau semua orang baik sama dengan harus selalu menjadi aktivis, maka tidak akan ada orang baik yang mau jadi birokrat.

Mempunyai tujuan yang diyakini baik dan benar tapi di saat bersamaan harus berkompromi dengan berbagai situasi dan pilihan sulit adalah lumrah. Segala sesuatu kadang tidak harus dijelaskan serta-merta saat itu juga. Kadang kita kecewa, lelah dan merasa kalah. Tapi hidup memang bukan melulu tentang kemenangan. Selama kita yakin bahwa tujuan kita baik dan dipegang teguh, waktu akan membuktikan hal-hal. Penting untuk tetap berbuat adil sejak dalam pikiran dan selalu menjaga akal sehat agar bisa menghormati setiap pilihan-pilihan dan prinsip berbeda yang diambil oleh orang lain.

Duta Sheila on 7 pernah membuat saya kagum lewat sebuah batu sebesar kepalan yang dilemparkan penonton ke arahnya, justru kemudian dibingkai indah di rumahnya: “Saya akan membuktikan bahwa saya tidak akan dendam dan kalah dengan batu ini.”

Berbeda itu biasa.

Prambanan, 16 September 2015

Kill the DJ

Gegeran Istimewa

Gegeran Isimewa

Drama suksesi Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat akhir-akhir ini, meskipun jauh-jauh hari sudah terprediksi, tetap saja sangat memprihatinkan. Sebagai penulis anthem Jogja Istimewa –yang sesungguhnya ketika diciptakan tidak ada kaitannya dengan status keistimewaan, wajar jika kemudian banyak pihak yang meminta pendapat saya, namun saya menolak untuk berkomentar karena tidak tertarik untuk ikut campur.

Saat ini saya sedang menjalani laku tapa bisu (berdiam diri) dengan tidak menyanyikan lagu Jogja Istimewa, hingga batas waktu yang tidak ditentukan, sebagai wujud keprihatinan atas berbagai hal buruk yang terjadi di Yogyakarta. Bukan hanya melulu gegeran suksesi keraton, melainkan juga bentuk keprihatinan atas berbagai arah pembangunan di Yogyakarta yang tidak lagi memanusiakan manusianya dan menghormati sedulur sikep (alam raya sebagai saudara manusia). Saya membutuhkan waktu lama untuk memutuskan dan harus berdebat sebagai resiko kolektif Jogja Hip Hop Foundation, karena bagaimanapun lagu tersebut yang membesarkan kami, juga banyak job manggung datang hanya untuk kami membawakan lagu itu.

Bagi saya tidak penting siapa raja Yogyakarta kelak, laki-laki atau perempuan, juga tidak penting apakah perlu menjaga paugeran keraton atau mengikuti sabda raja. Karena ada yang jauh lebih penting dari pada siapa yang akan jadi raja Yogyakarta, yaitu “rakyat”.

Mengambil pelajaran dari kisah pewayangan “Petruk Dadi Ratu”, dijelaskan bahwa siapapun yang berkuasa tidak akan bisa hidup dan menghidupi kekuasaan itu tanpa dipangku dan diemong oleh rakyatnya. Jaman selalu berubah, penguasa selalu berganti, kekuasaan tidak langgeng, yang selalu abadi adalah rakyat lengkap dengan segala daya kehidupannya. Kraton, negara, kekuasaan, tidak akan berarti tanpa rakyat yang bekerja untuk menjaga eksistensinya.

Pertanyaannya sekarang, apakah saat ini Keraton Yogyakarta masih masih dibutuhkan dalam kehidupan riil rakyat Yogyakarta? Apakah masih layak disebut sebagai “keraton rakyat” yang selalu mengayomi? Atau hanya sekedar simbol istana tempat tinggal keluarga darah biru tanpa ada peran berarti lagi bagi kehidupan rakyatnya?

Pada masa kemerdekaan Negeri Yogyakarta disebut sebagai “jantung Indonesia” karena menghidupi republik yang masih bayi dengan segala sumber daya yang dimilikinya, disamping kekayaan keraton, juga rakyatnya yang istimewa dan rela berkorban demi negerinya. Dalam berbagai peristiwa bersejarah rakyat sudah teruji kebesarannya; kemerdekaan, reformasi, gempa, merapi, keistimewaan, semuanya bisa terjadi karena kehendak rakyat yang bergerak. Seperti kalimat Soekarno ketika pamitan dari Yogyakarta sebagai ibu kota republik sementara saat itu; “Yogyakarta istimewa karena orang-orangnya yang rela berkorban”.

Pada sebuah kesempatan Sri Sultan HBX pernah menerangkan filosofi angka Jawa kepada saya, bahwa angka tertinggi di Jawa itu adalah 9, 10 itu sama dengan 0, maka beliau sebagai sultan ke 10 harus memulai hal baru, meletakkan pondasi baru untuk masa depan Yogyakarta. Tapi entah kenapa, saat itu justru saya berpikir bahwa 0 juga bisa bermakna “habis” atau “selesai”. Tergambar dalam imajinasi saya Kraton Yogyakarta akan bubar. 5 orang anak yang semuanya perempuan adalah pertanda dari alam.

Saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah paragraf dari buku saya Java Beat in the Big Apple;

“…di sisi lain, lagu Jogja Istimewa seperti pisau bermata dua, dia adalah dukungan untuk akar rumput yang sangat mencintai negerinya, sekaligus liriknya adalah pepiling (pengingat) akan nilai-nilai yang harus dijunjung oleh masyarakat dan pemimpinnya, tidak terkecuali bagi rajanya. Waktu akan membuktikan hal-hal, generasi akan berganti, dan semuanya akan berjalan dengan sendirinya secara alamiah. Karya trilogi yang menggambarkan kecintaan kami kepada Yogyakarta adalah penanda akan perubahan-perubahan jaman; Jogja Istimewa (2010), Song of Sabdatama (2012), Jogja Ora Didol (2014). Sudah seharusnya rasa cinta tidak membuat kita buta akan kekurangannya.”

Kill the DJ

Penulis lagu Jogja Istimewa, lahir dan tinggal di Klaten

 

Janji Jewer Jokowi

Jewer JokowiSetelah pilihan dan kemenangan

Kami akan mundur menarik dukungan

Membentuk barisan parlemen jalanan

Mengawasi amanah kekuasaan 

Akhir-akhir ini, berbarengan dengan kisruh KPK vs Polri, banyak orang mengejek saya di sosial media tentang dukungan saya kepada Jokowi di pilpres 2014, tentu saja kebanyakan dilakukan oleh “barisan sakit hati” yang masih tidak terima kekalahan Prabowo di pilpres lalu. Bahkan dalam sebuah aksi #SaveKPK yang saya ikuti di Polda DIY, apa yang saya orasikan di tengah massa dikutip media dengan judul heboh tanpa konteks waktu; “Kill the DJ menarik dukungan untuk Jokowi”.

Saya merasa tersanjung dengan semua usaha “sia-sia” kalian. Namun dengan legowo saya akan memberi ruang buat kalian dalam memenuhi nafsu mengejek. Mungkin hanya itulah “kemewahan” yang tersisa dalam hidup kalian.

Cuplikan bait terakhir lirik lagu “Bersatu Padu Coblos No. 2” di atas, yang saya sumbangkan untuk kampanye Jokowi selama pilpres 2014 lalu menjelaskan semuanya. Bahwa sebelum memutuskan menjadi relawan pun, saya sudah mempunyai komitmen untuk “menarik dukungan” begitu Jokowi menjadi presiden. Tidak ada lagi “Relawan Jokowi” yang harum namanya itu, karena Jokowi adalah presiden bagi seluruh rakyat Indonesia. Janji tersebut bahkan sudah saya lunasi sejak sebelum pelantikan, dengan tidak pernah hadir di berbagai undangan acara sebelum pelantikan, juga tidak pernah memenuhi undangan untuk datang ke kantor transisi, bahkan saat pelantikan yang bersejarah itu pun justru saya menghindar karena saya sudah menduga akan terlalu banyak “banci tampil” menggendong kepentingan masing-masing.

Melalui tulisan ini dengan tegas saya katakan, bahwa saya tidak pernah menyesal telah menjadi bagian dari sejarah di Pilpres 2014 dengan mengalahkan Prabowo dan para pendukungnya. Alasan kenapa saya harus menghadang Prabowo bisa dibaca di tulisan-tulisan di blog ini sebelumnya.

Saya adalah seniman, bukan politisi, dan bukan simpastisan atau kader sebuah partai politik, karena saya tahu semua partai politik di Indonesia busuk, bahkan yang membawa nama agama pun. Begitu asas kepentingan lebih menguasai dari pada asas perjuangan, saya pasti akan mengundurkan diri. Integritas saya sebagai seniman tidak bisa ditukar oleh hal apapun, bahkan surga, apalagi hanya politik. Oleh karenanya saya tidak peduli dengan realitas politik yang dihadapi Jokowi sebagai presiden. Saya tidak pernah peduli bahwa PDI-P sebagai parpol pemenang pemilu tidak mampu membangun Koalisi Indonesia Hebat menguasai parlemen. Saya juga tidak mau tahu kerepotan Jokowi menghadapi tarik-menarik kepentingan antar elite parpol di seputar istana negara. Buat “barisan sakit hati” jangan jumawa, karena kalau Prabowo jadi presiden bagi-bagi kursi kekuasaan itu akan lancar tanpa hambatan. Meminjam kalimat kawan Pandji, beberapa kali “gegeran” di istana negara justru menunjukkan bahwa Jokowi berusaha bertahan dari berbagai gempuran “kepentingan-kepentingan” tersebut, bahkan oleh parpol pendukungnya sendiri.

Namun semua itu bukanlah urusan saya karena, sebagaimana rakyat yang lain, saya adalah rakyat yang sibuk membangun kehidupannya dengan segala kemandirian yang dimiliki. Semangat “teruslah bekerja, jangan berharap pada negara” tidak akan luntur hanya karena saya telah menjadi bagian dari kemenangan Jokowi. Tugas saya saat ini adalah memenuhi janji untuk “Menjewer Jokowi” sebagai bentuk kritik jika ada kebijakan-kebijakan yang mengingkari janjinya sebagai presiden; “Saya hanya akan tunduk kepada konstitusi dan kehendak rakyat Indonesia”.

Menjadi bagian “rakyat tidak jelas” yang mendukung #SaveKPK adalah perwujudan dari komitmen “Menjewer Jokowi” tersebut. Namun sebelum fenomena Jokowi muncul pun saya sudah melakukannya sejak “Cicak Nguntal Boyo” 2009. KPK dengan segala sumber daya yang minim dan serangan yang bertubi-tubi, tetaplah lembaga yang paling bisa diandalkan saat ini, oleh karenanya buat saya, KPK sangat layak untuk dibela. Benar, saya setuju banyak yang perlu dibenahi di KPK, tapi dengan tindakan kriminalisasi terus-menerus terhadap KPK hanya akan membuat semakin banyak “rakyat tidak jelas” dengan segala “cinta” untuk “Indonesia Raya” turun tangan membelanya. Cinta itulah yang membuat mereka bergerak, sebagaimana cinta menggerakkan mereka untuk mengantarkan Jokowi hingga istana negara.

Itu kenapa ketika kami menggelar konser #GropyokanKorupsi di Hari Anti Korupsi, 9 Desember 2014 lalu, kami memilih tema “Korupsi Adalah Kita” sebagai plesetan “Jokowi adalah Kita”, di mana banyak eks. relawan Jokowi memprotesnya, hahaha, semoga sekarang kalian bisa paham dan mampu mengejek diri sendiri. Korupsi memang ada di sekitar kita dan kita harus berperang! Pemberantasan korupsi di Indonesia tidak akan pernah berhasil tanpa komitmen kuat dari kepala negara, segala pernyataan normatif yang biasa-biasa saja dari Jokowi dalam kisruh Pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri yang berbuntut pada penangkapan Bambang Widjojanto dan penetapan sebagai tersangka itu sungguh sangat mengecewakan.

Janganlah menggali kuburanmu sendiri !

A Private Blog of Marzuki "Kill the DJ" Mohamad