
Dear Bapak Jokowi, Aku menulis surat ini di atas pesawat yang membosankan dalam perjalananku ke konferensi Art Asia Council di Tokyo, Jepang, pasti bapak tidak membayangkan bahwa seorang “rapper kampung” sepertiku bisa diundang untuk perhelatan-perhelatan semacam ini. Perlu bapak mengerti, bahwa dalam kerja kesenianku, peran negara sangat minim, untuk tidak dibilang nihil, meskipun sudah ada Menparekraf dan Dana Keistimewaan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tapi aku tidak akan mengeluh karena aku hidup di tengah patani-petani miskin di desaku yang selalu tersenyum dan tetap menanam meskipun gagal panen. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang hebat dan paham akan proses untuk menjadi Indonesia. Pertama-tama, aku mohon maaf karena tidak bisa menghadiri Pesta Rakyat pelantikan bapak di tanggal 20 Oktober nanti, meskipun teman-teman relawan banyak yang berharap aku hadir di sana. Tapi seperti janji di laguku buat bapak, bahwa “setelah pilihan dan kemenangan, kami akan mundur menarik dukungan, membentuk barisan parlemen jalanan, mengawasi amanah kekuasaan”, maka aku pikir bukan hal penting untuk harus hadir di sana, meskipun sejujurnya aku ingin berada di sana untuk ikut memproklamasikan kekuatan rakyat.
Setelah pilpres kemarin, banyak sekali undangan baik secara resmi atau tidak resmi, mulai dari Kantor Transisi, PDI-P, hingga halal bi halal relawan Jokowi, tidak ada satu pun yang aku hadiri kecuali launching buku di Solo. Ada dua alasan kenapa aku tidak mau menghadiri undangan-undangan itu. Pertama, aku memang ingin dan sudah sepantasnya untuk mengambil jarak karena aku tidak tertarik dengan politik. Kedua, terlalu banyak pekerjaan yang menumpuk yang harus aku selesaikan setelah praktis aku tinggal untuk menjadi relawan Jokowi selama dua bulan masa pilpres 2014. Bahkan aku sampai harus mengundur launching buku Java Beat in the Big Apple (Cerita Perjalanan Java Hip Hop di USA) dan album Semar Mesem Romo Mendem karenanya. Itu kenapa begitu pilpres selesai aku jarang ngetwit, karena memang tidak cukup waktu untuk itu. Meskipun jika aku tetap bekerja sepanjang pilpres pun hasilnya pasti tidak akan maksimal. Karena selama pilpres setiap hari yang aku pikirkan hanya bagaimana caranya Jokowi menang. Ketika bangun tidur aku langsung memikirkan Jokowi, sepenjang hari aku hanya mengerahkan segala daya-upayaku untuk kemenangan Jokowi, hingga ketika kembali tidur lagi aku masih memikirkan Jokowi, bahkan ketika tidur pun aku bermimpi bagaimana memenangkan Jokowi. Mungkin kedengaran lebay, tapi teman-teman dekatku pasti sangat tahu, aku sudah terbiasa melakukan hal itu karena sering menjadi relawan ketika terjadi bencana. Pilpres 2014 kemarin aku anggap sebagai bencana dan aku harus memenuhi “panggilan mulia” sebagai relawan itu apapun resikonya. Bencana karena aku ingin cita-cita reformasi kembali ke jalurnya, bencana karena aku ingin demokrasi tidak kembali tersandra.

Aku punya prinsip bahwa aku tidak boleh hanya mengeluh pada keadaan tanpa memberikan andil (kontribusi) untuk membangun mimpi dan harapan akan perubahan itu. Luar biasanya, saat ini besarnya harapan akan perubahan itu tertumpu pada diri Jokowi. Aku yakin bapak sudah tidak ingat jawabanku ketika bapak menelponku setelah pilpres untuk mengucapkan terima kasih, melalui surat ini, ijinkan aku mengingatkannya; “aku tidak butuh ucapan terima kasih, menjadi relawan Jokowi buatku adalah membantu diriku sendiri karena Jokowi adalah simpul bagi energi-energi positif yang kita miliki untuk Indonesia yang lebih baik”. Bapak Jokowi, malalui satu surat dari seorang yang pernah berjibaku menjadi relawanmu ini saja, tentu bapak sudah bisa membaca bahwa harapan yang dititipkan kepada Jokowi sangatlah besar. Aku yakin tentu bapak sudah sangat sadar, betapa besar harapan rakyat Indonesia itu. Aku juga yakin, bahwa bapak sudah tahu tidak akan mudah membenahi Indonesia, apalagi belum-belum bapak sudah dihadapkan pada realitas politik yang karut-marut. Tapi aku sangat yakin sebelumnya, bahwa dibalik tubuh kerempeng yang dibalut sopan-santun khas Jawa dan kerendahan hati itu, Jokowi adalah petarung sejati yang mengartikan kemenangan juga adalah penghormatan bagi mereka yang kalah. Bahwa bapak akan menghadapinya dengan “Cara Jokowi”; merangkul kawan dan lawan untuk bersama-sama berproses menjadi Indonesia.

Pertemuan Jokowi dengan Prabowo membuktikan semuanya. Aku sangat bahagia dan bersyukur bahwa hal itu terjadi dan menghadirkan suka-cita yang hakiki bagi rakyat Indonesia. Semoga peristiwa itu menjadi tauladan untuk para pendukungmu, bahkan buat Megawati juga. Hihihi… Sebab kita memang harus bersama-sama bekerja untuk Indonesia. Terakhir, aku mengucapkan selamat atas pelantikan bapak sebagai presiden Indonesia, semoga bapak bisa mengemban tugas itu dengan baik, tetap amanah dan mendengar. Bapak tidak pandai pidato tidak apa-apa, karena Indonesia kekurangan pemimpin yang memiliki kemampuan mendengar dengan baik, dalam hal ini mendengar sanubari rakyatnya. Aku berjanji akan selalu turun tangan untuk memberi sumbangsih bagi Indonesia jika situasinya memanggil, tapi aku juga berjanji bahwa aku tidak akan segan “menjewer Jokowi” jika bapak tidak lagi mendengar suara rakyat.
Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat, Jadilah Presiden Rakyat!
Tokyo, 19 Oktober 2014 Marzuki Mohamad a.k.a Kill the DJ