Berbeda itu Biasa

berbeda itu biasa

Akhir Agustus lalu saya menghadiri konser perayaan 20 tahun Superman is Dead (SID) dengan titel “Home Town Riot” di Hard Rock Café Bali. Tujuannya sih bukan melulu untuk nonton konsernya karena sudah terlalu sering bertemu dengan SID, melainkan untuk mengenang peristiwa-peristiwa kecil yang bersinggungan dengan diri saya sendiri sekitar 15 tahun yang lalu, terutama kangen-kangenan dengan Rudolf Dethu, manajer pertama SID, yang juga sedang merilis buku tulisannya, biografi 20 tahun SID berjudul “Rasis, Pengkhianat, Miskin Moral”.

Saat itu awal 2003, mungkin bulan Februari, saya lupa persisnya, saya juga lupa nama café di daerah Legian itu, di mana saya terlibat diskusi ‘panas’ bersama Rudolf Dethu dan Anton Kurniawan (ex manajer Sheila on 7) tentang kemungkinan SID menerima tawaran kontrak dari Sony Music. Kebetulan Sheila on 7 yang saat itu sedang moncer-moncer-nya juga dibawah label Sony Music sehingga Dethu butuh banyak masukan, terutama dari Anton.

Sebagaimana saya, Dethu mengaku lupa detail percakapannya, sebab kami berdua melakukannya sambil minum beberapa shot tequila, mungkin Anton yang bukan peminum miras itu masih ingat detailnya. Tapi secara garis besar pembicaraan mengarah pada, bahwa SID needs more stages dan itu baik untuk mereka dan Bali di masa depan. Saya tidak tahu apa yang didiskusikan Dethu bersama Jerinx, Bobby, dan Eka, setelah itu. Namun pada akhirnya kita tahu bahwa SID memutuskan untuk bergabung dengan Sony Music. Tentu saja setiap pilihan punya resiko dan peluangnya masing-masing. Termasuk cap pengkhianat atau lonthe dari para penjaga ideologi dan aqidah punk-rock di Indonesia yang mengikutinya paska kontrak itu.

Ada suatu waktu di masa-masa itu, saya menemani SID di hotel mereka paska konser di GOR UPN Yogyakarta yang berujung dengan keributan karena diserang oleh penonton gara-gara plintiran isu ‘fuck java’ dan ‘pengkhianat punk’. Hadir juga di sana beberapa teman yang lain, seingat saya ada Heru Shagydog, Erix Soekamti, Gufi, dan masih banyak lagi yang saya lupa. Kita ada di tempat itu untuk memberi pesan damai dan ketenangan bagi rombongan SID, bahwa kita ada bersama mereka.

Segala kasus yang timbul setelah pemukulan terhadap Boby di UPN itu terselesaikan dengan sendirinya, waktu memberikan jawaban akan hal-hal, beberapa teman yang belakangan teridentifikasi melakukan pengeroyokan mengaku malu, pun para personil SID mengaku tidak punya dendam sama sekali akan peristiwa-peristiwa kekerasan semacam itu, yang juga terjadi di beberapa kota lainnya. Sebaliknya, justru menjadi bagian penting dari perjalanan terbentuknya identitas SID dan membuat mereka semakin kuat.

Jika kita melihat SID sekarang yang menjelma menjadi ‘gerakan sosial’, bukan sekedar band, terutama dalam gerakan Bali Tolak Reklamasi, sepertinya tuduhan-tuduhan miring yang dialamatkan kepada mereka ketika memutuskan begabung dengan major label hilang dengan sendirinya melalui pembuktian demi pembuktian. Meskipun sudah menjadi hukum alam, bahwa seiring dengan naiknya popularitas pasti dibarengi dengan lahirnya pembenci-pembenci (haters) berikutnya. Apalagi Jerinx adalah si mulut besar yang gampang terpancing amarahnya. Haha… Tapi saya yakin, jika SID tidak bergabung dengan Sony Music, yang nota bene adalah representasi industri musik mainstream, amplifikasi gerakan sosialnya tidak akan bisa semasif sekarang ini.

Berbicara tentang industri musik dihadapkan dengan idealisme dan ideologi berkarya, sepertinya di Indonesia memang tidak bisa menghakimi hal-hal secara hitam-putih. Ketika sebuah band tampil di sebuah event dengan sponsor perusahaan kretek multinasional, apakah musisi itu serta-merta sedang mempromosikan agar penggemarnya merokok kretek? Di sisi lain, sejarah telah membuktikan bahwa di Indonesia industri kretek lah yang paling konsisten membuat musisi-musisi tampil dari panggung ke panggung hingga ke kota-kota kabupaten.

Apakah dengan kondisi semacam itu kemudian dengan mudah kita bisa menghakimi musisi-musisi itu sebagai hipokrit karena mungkin bertentangan dengan prinsip-prinsip yang sering disuarakannya? Lalu apakah kita bisa memberikan solusi lain agar jantung industri musik tetap berdenyut ketika menghakiminya? Sama halnya dengan sebuah renungan kecil seperti ini: apa yang terjadi jika aktivis anti-rokok datang dan memberikan sosialisasi kepada para petani tembakau untuk tidak menanam tembakau di desaku? Ketoke malah isa dipacul cangkeme.

Ada sebuah cerita lain yang menarik, konon di tahun 70-an Harian Kompas diundang ke istana untuk manandatangani surat perjanjian di depan presiden Soeharto, isinya salah satunya Kompas tidak boleh lagi menulis berita-berita seputar bisnis keluarga Soeharto, atau akan dibredel jika tetap melakukannya. Sungguh sebuah pilihan yang sangat sulit; menentang tapi padam atau berkompromi dengan situasi sulit kemudian merawat dan menumbuhkan api perlawanan diam-diam. Menurut cerita, awak redaksi di dalam Kompas sendiri waktu itu tegang dalam perdebatan. Memilih mengambil peran dan berada di dalam sebuah sistem yang busuk untuk mengubahnya sedikit demi sedikit sama susahnya dengan melawannya dari luar. Meskipun citra yang dihasilkan bisa jadi sangat-sangat berbeda. Tapi kalau semua orang baik sama dengan harus selalu menjadi aktivis, maka tidak akan ada orang baik yang mau jadi birokrat.

Mempunyai tujuan yang diyakini baik dan benar tapi di saat bersamaan harus berkompromi dengan berbagai situasi dan pilihan sulit adalah lumrah. Segala sesuatu kadang tidak harus dijelaskan serta-merta saat itu juga. Kadang kita kecewa, lelah dan merasa kalah. Tapi hidup memang bukan melulu tentang kemenangan. Selama kita yakin bahwa tujuan kita baik dan dipegang teguh, waktu akan membuktikan hal-hal. Penting untuk tetap berbuat adil sejak dalam pikiran dan selalu menjaga akal sehat agar bisa menghormati setiap pilihan-pilihan dan prinsip berbeda yang diambil oleh orang lain.

Duta Sheila on 7 pernah membuat saya kagum lewat sebuah batu sebesar kepalan yang dilemparkan penonton ke arahnya, justru kemudian dibingkai indah di rumahnya: “Saya akan membuktikan bahwa saya tidak akan dendam dan kalah dengan batu ini.”

Berbeda itu biasa.

Prambanan, 16 September 2015

Kill the DJ

7 thoughts on “Berbeda itu Biasa”

  1. Tulisan ini sptny jg jawaban atas kenapa menjadi bintang iklan produk air mineral itu ya..?? (Just my opinion). Tep maju terus Kang, salam sedulur JHF.

  2. Assalamu’alaikum mas Marjuki.
    Cerita yang menarik mas, saya jadi teringat cerita dari kakak saya dulu waktu dia masih berstatus mahasiswa. dia dan teman-temannya pengen ngadain even musik endie di kota kami (Amuntai), dan waktu penggalangan dana dia sama teman-temannya nyari sponsor dari perusahaan rokok kretek. kerna perusahaan kreteklah yang paling mudah dimintai jadi sponsor. hahah….

  3. Ya begitulah indonesia, mau dilarang bagaimanapun tentang menanam tembakau tetep aja dijalanin. Lah wong rokok aja menyumbang pajak besar kok di negeri ini. Saya juga gk pernah liat pertandingan sepakbola/olahraga lainya terus sponsornya sabun mandi, pasti sponsornya rokok .. Wkwk

    Lanjutkan Mas Juki

  4. Marilah kawan2 kita lawan korporasi-korporasi bangsat macam akuwa dengan cara memborong akuwa sampe mereka kehabisan stok & bangkrut, jadi bintang iklannya kalo perlu.
    :*

  5. ijin kutip ini Pak Dhe

    “Mempunyai tujuan yang diyakini baik dan benar tapi di saat bersamaan harus berkompromi dengan berbagai situasi dan pilihan sulit adalah lumrah. Segala sesuatu kadang tidak harus dijelaskan serta-merta saat itu juga. Kadang kita kecewa, lelah dan merasa kalah. Tapi hidup memang bukan melulu tentang kemenangan. Selama kita yakin bahwa tujuan kita baik dan dipegang teguh, waktu akan membuktikan hal-hal. Penting untuk tetap berbuat adil sejak dalam pikiran dan selalu menjaga akal sehat agar bisa menghormati setiap pilihan-pilihan dan prinsip berbeda yang diambil oleh orang lain.”

    jozz tenan,,i like it

Leave a comment