Setelah pilihan dan kemenangan
Kami akan mundur menarik dukungan
Membentuk barisan parlemen jalanan
Mengawasi amanah kekuasaan
Akhir-akhir ini, berbarengan dengan kisruh KPK vs Polri, banyak orang mengejek saya di sosial media tentang dukungan saya kepada Jokowi di pilpres 2014, tentu saja kebanyakan dilakukan oleh “barisan sakit hati” yang masih tidak terima kekalahan Prabowo di pilpres lalu. Bahkan dalam sebuah aksi #SaveKPK yang saya ikuti di Polda DIY, apa yang saya orasikan di tengah massa dikutip media dengan judul heboh tanpa konteks waktu; “Kill the DJ menarik dukungan untuk Jokowi”.
Saya merasa tersanjung dengan semua usaha “sia-sia” kalian. Namun dengan legowo saya akan memberi ruang buat kalian dalam memenuhi nafsu mengejek. Mungkin hanya itulah “kemewahan” yang tersisa dalam hidup kalian.
Cuplikan bait terakhir lirik lagu “Bersatu Padu Coblos No. 2” di atas, yang saya sumbangkan untuk kampanye Jokowi selama pilpres 2014 lalu menjelaskan semuanya. Bahwa sebelum memutuskan menjadi relawan pun, saya sudah mempunyai komitmen untuk “menarik dukungan” begitu Jokowi menjadi presiden. Tidak ada lagi “Relawan Jokowi” yang harum namanya itu, karena Jokowi adalah presiden bagi seluruh rakyat Indonesia. Janji tersebut bahkan sudah saya lunasi sejak sebelum pelantikan, dengan tidak pernah hadir di berbagai undangan acara sebelum pelantikan, juga tidak pernah memenuhi undangan untuk datang ke kantor transisi, bahkan saat pelantikan yang bersejarah itu pun justru saya menghindar karena saya sudah menduga akan terlalu banyak “banci tampil” menggendong kepentingan masing-masing.
Melalui tulisan ini dengan tegas saya katakan, bahwa saya tidak pernah menyesal telah menjadi bagian dari sejarah di Pilpres 2014 dengan mengalahkan Prabowo dan para pendukungnya. Alasan kenapa saya harus menghadang Prabowo bisa dibaca di tulisan-tulisan di blog ini sebelumnya.
Saya adalah seniman, bukan politisi, dan bukan simpastisan atau kader sebuah partai politik, karena saya tahu semua partai politik di Indonesia busuk, bahkan yang membawa nama agama pun. Begitu asas kepentingan lebih menguasai dari pada asas perjuangan, saya pasti akan mengundurkan diri. Integritas saya sebagai seniman tidak bisa ditukar oleh hal apapun, bahkan surga, apalagi hanya politik. Oleh karenanya saya tidak peduli dengan realitas politik yang dihadapi Jokowi sebagai presiden. Saya tidak pernah peduli bahwa PDI-P sebagai parpol pemenang pemilu tidak mampu membangun Koalisi Indonesia Hebat menguasai parlemen. Saya juga tidak mau tahu kerepotan Jokowi menghadapi tarik-menarik kepentingan antar elite parpol di seputar istana negara. Buat “barisan sakit hati” jangan jumawa, karena kalau Prabowo jadi presiden bagi-bagi kursi kekuasaan itu akan lancar tanpa hambatan. Meminjam kalimat kawan Pandji, beberapa kali “gegeran” di istana negara justru menunjukkan bahwa Jokowi berusaha bertahan dari berbagai gempuran “kepentingan-kepentingan” tersebut, bahkan oleh parpol pendukungnya sendiri.
Namun semua itu bukanlah urusan saya karena, sebagaimana rakyat yang lain, saya adalah rakyat yang sibuk membangun kehidupannya dengan segala kemandirian yang dimiliki. Semangat “teruslah bekerja, jangan berharap pada negara” tidak akan luntur hanya karena saya telah menjadi bagian dari kemenangan Jokowi. Tugas saya saat ini adalah memenuhi janji untuk “Menjewer Jokowi” sebagai bentuk kritik jika ada kebijakan-kebijakan yang mengingkari janjinya sebagai presiden; “Saya hanya akan tunduk kepada konstitusi dan kehendak rakyat Indonesia”.
Menjadi bagian “rakyat tidak jelas” yang mendukung #SaveKPK adalah perwujudan dari komitmen “Menjewer Jokowi” tersebut. Namun sebelum fenomena Jokowi muncul pun saya sudah melakukannya sejak “Cicak Nguntal Boyo” 2009. KPK dengan segala sumber daya yang minim dan serangan yang bertubi-tubi, tetaplah lembaga yang paling bisa diandalkan saat ini, oleh karenanya buat saya, KPK sangat layak untuk dibela. Benar, saya setuju banyak yang perlu dibenahi di KPK, tapi dengan tindakan kriminalisasi terus-menerus terhadap KPK hanya akan membuat semakin banyak “rakyat tidak jelas” dengan segala “cinta” untuk “Indonesia Raya” turun tangan membelanya. Cinta itulah yang membuat mereka bergerak, sebagaimana cinta menggerakkan mereka untuk mengantarkan Jokowi hingga istana negara.
Itu kenapa ketika kami menggelar konser #GropyokanKorupsi di Hari Anti Korupsi, 9 Desember 2014 lalu, kami memilih tema “Korupsi Adalah Kita” sebagai plesetan “Jokowi adalah Kita”, di mana banyak eks. relawan Jokowi memprotesnya, hahaha, semoga sekarang kalian bisa paham dan mampu mengejek diri sendiri. Korupsi memang ada di sekitar kita dan kita harus berperang! Pemberantasan korupsi di Indonesia tidak akan pernah berhasil tanpa komitmen kuat dari kepala negara, segala pernyataan normatif yang biasa-biasa saja dari Jokowi dalam kisruh Pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri yang berbuntut pada penangkapan Bambang Widjojanto dan penetapan sebagai tersangka itu sungguh sangat mengecewakan.
Janganlah menggali kuburanmu sendiri !
Ini miskonsepsi yg biasa dialami para pendukung seberang yang masih mendukung capres idolanya dan tetap membenci capres yang udah menang. Mereka lupa bahwa pasca pilpres, harusnya udah gak ada “kubu-kubu”an lagi.
Capek juga dengerin orang yg bilang “ciye.. Skrg ngeritik presidennya.. Nyesel ya?”
Justru aku berani ngeritik karena aku bukan simpatisan/relawan lagi sejak kelar pilpres. Posisiku jadi rakyat yang mengawasi presidennya. Bukan rakyat yang selalu mendukung apapun keputusan presidennya. Lha nek presiden e kepilih, terus mbacoki wong, ora bakal dikritik po? Pekok banget wong-wong sing ngene iki, mas.
Pilpres kemarin menciptakan fanatisme yang merongrong nasionalisme.
Dari jauh aku tersentuh. Benar katamu, Mas, bapak Presiden memang perlu diingatkan.
Setuju dab !! Satrio tenan kowe
kalo mo tarik, ya tarik aja, gitu aja pake digembar gemborin, bkn anda saja pendukungnya, orng yg berpikir RASIONAL itu namanya MANUSIA, tetapi orng yg tdk memliki pemikiran RASIONAL sama dengan PEMUJA, dilihat dari tulisan ini hanya melihat dari 1 sisi yaitu yg diPUJA, KPK (DEWA PUJAAN ANDA), apa kata KPK = 100% benar, yg lain salah, MENGAPA TDK ANDA GANTI SAJA TUHAN ANDA DENGAN KPK? Sungguh makin aneh bangsa ini, SUDAH TDK MEMILIKI AKAL SEHAT, JIKA ADA 1 masalah dalam hukum selalu menyalahkan orng itu (Mega), MENGAPA TDK SEKALIAN ANDA SALAHKAN TUHAN?, sungguh naif masyarakat indonesia, TUHAN memberi manusia pikiran dan hati……….Pakailah itu untuk menimbang dan merenungkan segalanya, BUKAN langsung MENDEWAKAN seseorang/Lembaga.. kita semua adalah MANUSIA, artinya nalar kita itulah yg membedakan kita, .. Ada 3 hukum didunia, 1. Hukum Tuhan, 2. Hukum Alam, 3 Hukum Manusia, artinya bahwa kita berada dibawah HUKUM, TIDAK PERDULI MPR, DPR, PRESIDEN,.dll………..Bahkan KPK pun tunduk kepada hukum, jika berpikir tahun, tanyakan mengapa KPK bisa menghukum orng yg jauh kejadiannya? sedangkan lembaga hukum lain tdk boleh? itu yg pertama, yg kedua, era, dulu terjadi pada era sapa? semua rentetan itu harus anda lihat dengan jernih, SEMUA MANUSIA BENCI DENGAN KORUPTOR, TAPI BUKAN BERARTI MEMAKAI SEORANG PENJAHAT UNTUK MENGHUKUM PENJAHAT BUKAN?.. SILAHKAN ANDA BERPIKIR DENGAN JERNIH DARIPADA HANYA SESUMBAR (INGAT KASUS ANAS? ATAS PERINTAH SBY, ANAS DITANGKAP KPK? INGAT YG MEMBOCORKAN SPRINDIK? Ingat Masalah Gitar Jokowi? apakah semua masuk akal? sesuai prosedur? jawabnya TIDAK)… BERPIKIR DAN RENUNGKAN itu yg dinamakan Manusia
salut mas , setuju dg semua peryataan sampean
bangkai di laut pasti akan menepi jua
tetap semangat
Piye bro, jakarta wae rung rampung isih banjir kok… Soyo maneh mobil esemka sing mung nggo pencitraan wis ra keurus, bar dadi relawane jokowi kono wis oleh opo wae? Nek manut aku sih mending SBY. Jal saiki deloken, presiden ngendi sing paling gampang disetir?