Yang tak Terlupakan
5 November 2010, 02:00 dini hari, erupsi besar gunung Merapi mengguncang Jogja dan sekitarnya, ratusan ribu penduduk yang tinggal di sekitar lereng Merapi seketika berbondong-bondong mengungsi ke tempat yang relatif aman. Tapi malam itu aku memutuskan menantang bahaya dengan naik mengendarai mobil pick up, melawan arus pengungsi, menuju ke lereng Merapi untuk membantu evakuasi. Aku tidak tega membayangkan nasib saudara-sudara kita yang terjebak di desa-desa terpencil di lereng Merapi itu. Sekitar pukul 04:00 aku bertemu dengan Kebo, sapaan akrab Yoga Cahyadi alias Bobby Yoga, di depan kecamatan Pakem yang berubah menjadi kota mati. Kita menunggu fajar di sana untuk kembali menyisir kampung-kampung yang dilanda bencana.
Sekitar puku 05:00, Matahari belum terlihat tapi langit sudah semburat, kami menuju ke kali Gendol yang dari kejauhan nampak seperti garis bara api karena menjadi jalur utama muntahan material panas Merapi. Kami merangsek hingga kira-kira 100 meter dari kali itu. Bau belerang dan segala benda terbakar begitu menyengat. Bersama teman-teman SAR yang lain, kami menyisir rumah-rumah di sekitar bantaran sungai itu, desa Argomulyo tepatnya. Puluhan mayat kami angkat ke dalam mobil yang aku kendarai. Ketika sirine bahaya berbunyi dari radio yang kubawa, Kebo memintaku untuk tetap bertahan dan hanya bersiap di mobil, sementara yang lain mundur ke tempat yang lebih aman. “Tenang. Itu hanya angin lalu” katanya waktu itu.
Itu kenapa dia disapa Kebo (Kerbau, Jawa), disamping badannya relatif gemuk, dia laksana banteng yang ketika mengambil keputusan, tidak akan mundur sejengkal pun. Teman-temannya di Mapala Setrajana dan SAR tahu persis akan karakter ‘ngebo’ ini.
Puluhan mayat-mayat itu (saya tidak tahu persis jumlahnya) kami bawa ke RS Sardjito, kami bolak-balik naik-turun beberapa kali. Aktivitas berhenti karena aku harus berangkat ke Jakarta melalui perjalanan darat untuk taping di Metro TV hari berikutnya, waktu itu air port Yogyakarta ditutup oprasinya.
Setiap tahun di hari dan tanggal yang sama, Kebo selalu mengajakku untuk kembali ke bantaran kali Gendol untuk memperingati peristiwa itu. Kami nge-beer sambil ngobrol ngalor-ngidul mengenang akan hal-hal …
Cerita lengkap tentang peristiwa ini saya susun dalam tulisan; My Evacuation Timeline. Dan sekarang nama Kebo yang mempunyai akun twitter @effort_creative tercetak warna merah.

Masa Indah
Aku mengenal Kebo di Fisipol UGM tahun 1996, meskipun aku tidak pernah kuliah dan menjadi mahasiswa, aku selalu nongkrong di sana. Waktu itu, sebelum Soeharto lengser, Fisipol UGM adalah habitat yang penuh semangat dan pergesekan gagasan yang kuat lagi hangat. Bukan saja gerilya politik melawan orde baru, tapi juga dipenuhi oleh enerji-enerji kreatif yang luar biasa.
Kami mendirikan Forum Musik Fisipol (FMF) dan Kebo adalah salah satu inisiatornya, menjadi basis lahirnya legenda electronic music movement, Parkinsound (1998 – 2004). Bahkan pesta hip hop yang menggunakan nama Jogja Hip Hop Foundation (JHF) aku selenggarakn pertama kali di sana. Banyak band-band hebat yang lahir di sana, salah satu yang masih aktif hingga kini adalah Melancholic Bitch. Jangan lupa, teater Garasi yang moncer itu juga lahir dalam lingkungan ini. Juga ada Kunci Cultural Studies yang sangat penting untuk diakses wacananya hingga kini. Aku tidak bisa menyebutkan semua hal hebat yang lahir di Fisipol UGM di era itu, tapi tentu perlu menyebutkan Performance Fucktory, sebuah wadah di mana Jompet, Ugo, Yosi, Wulu, dan aku bergesekan melahirkan beberapa karya performance dan musik.

Tentu saja juga melahirkan cerita-cerita khas anak muda di jaman itu; ganja, alkohol, berantem dan kisah cinta.
Aku memang selalu mengkritik berbagai pemikiran dan keputusan Kebo sejak kita masih membangun FMF, bahkan Kebo dan beberapa teman pernah melabrak rumahku ketika berselisih pendapat tentang penyelenggaraan Parkinsound 4 (terakhir). Waktu itu aku memutuskan untuk menerapkan logika bisnis dengan tetap mengandalkan basis komunitas dalam penyelenggaraan setelah rugi hampir seratus juta di Parkinsound 3 (2001). Tapi rupanya itu tidak bisa diterima khalayak, aku menjadi musuh nomer satu di FMF waktu keputusan itu kuambil.
Hanya waktu yang bisa memberikan pelajaran dan jawaban akan hal-hal…

Ketika generasi Kebo banyak yang sudah lulus dan menjadi alumni, aku juga tidak setuju keterlibatan para alumni secara langsung di FMF. Alasanku, setiap generasi mempunyai gaya dan ekspresi khasnya sendiri sabagi penanda jaman. Itu kenapa aku kemudian memutuskan untuk tidak mau ikut campur FMF selama alumni masih terlibat secara langsung.
Quot dari kata-kata Kebo yang paling terkenal dan selalu terngiang di kepala teman-teman pun aku kritik; “piye carane kudu isa” (bagaimana caranya harus bisa), karena seharusnya “kudu isa piye carane” (harus bisa bagaimana caranya), dengan demikian kita masih bisa membuka diri untuk terus berkembang, belajar, dan menjadi murid seumur hidup.
Hingga kemudian dia mendirikan EO bernama Effort Creative, aku selalu merasa tidak sreg dan mengkritik cara, pemikiran, dan keputusan Kebo ketika menjadi promotor. Karena itu logika bisnis yang sunggung berbeda. EO hanya jasa penyelenggaraan event dan seharusnya tidak bisa rugi, sementara promotor adalah investasi. Hingga kemudian aku memutuskan untuk tidak mempunyai relasi bisnis dengannya agar pertemanan kita tidak hancur.
Ini semua hanya soal waktu …

Jebakan Gerakan Kebudayaan
Sebagai sebuah perusahaan event organizer, Effort Creative sebenarnya cukup menguntungkan, tapi Kebo selalu mempunyai semangat yang besar untuk menjadi promotor untuk memajukan musik independen di Yogyakarta. Generasi kami di Yogyakarta memang banyak terjebak dengan gagasan ‘gerakan kebudayaan’ dari pada sekedar event, termasuk Kebo. Berbagai acara untuk itu diciptakan, seperti; Youthfest, The Parade, Lockstock dll. Semua keuntungan sebagai EO bisa jadi dia curahkan sebagai promotor untuk membangun acara-acara itu yang kebanyakan sepi sponsor.
Dari semua acara-acara itu, Lockstock (akronim dari Local Stock) digadang-gadang oleh Kebo sebagai wadah yang mampu mendukung kemajuan skena musik independen di Yogyakarta. Dia bercita-cita menjadi “kaki” untuk teman-teman musisi Independen. Lockstock pertama digelar tahun 2009 dan berakhir dengan kegagalan secara bisnis. Mulai saat itulah Kebo mulai kelabakan gali lubang – tutup lubang. Menggunakan uang event yang akan datang untuk menutup event sebelumnya.
Ada beberapa nama yang diminta Kebo sebagai team penggagas Lockstock; Djaduk Ferianto (Kua Etnika), Aji Wartono (Warta Jazz), Wotowibowo (Yes No Wave), Andy Yulfan (Memet Dubyouth, ex. Manager Shaggydog dan sekarang Endank Soekamti), dan aku sendiri. Segala muatan tema dan band yang dipilih Kebo selalu berkonsultasi dan meminta rekomendasi kepada kami. Tapi secara bisnis orang-orang ini tidak ada keterlibatannya sama sekali.
Pada Lockstock pertama, berbagai rekomendasi kami sampaikan. Diantaranya, bahwa sebuah gerakan kebudayaan harus disepakati secara kolektif, event tidak perlu besar dan berbiaya tinggi tapi cukup menjadi penanda semangat zaman yang akan selalu dikenang. Saya sendiri tidak setuju dengan nama Lockstock yang kurang membumi dan mewakili ciri khas Yogyakarta. Tapi Kebo tetap mendirikan beberapa panggung dan selalu menaruhkan harapan menjadi festival yang besar pada Lockstock. Sudah bisa ditebak, dia akhirnya bangkrut.
Setelah 4 tahun berselang dengan diselingi berbagai event yang lain yang dipromotori oleh Effort Creative, seperti the Parade dan Youthfest, Kebo datang lagi dan menyampaikan niat untuk kembali menggelar Lockstock. Team penggagas ini kembali dikumpulkan sebatas memberikan rekomendasi muatan tema dan band-band yang dipilih. Yang jauh lebih penting, bahwa secara tegas, justru team ini menyarankan Kebo untuk berpikir ulang untuk menunda penyelenggaraan Lockstock 2 karena relatif hanya dipersiapkan selama satu bulan.
Aku sendiri belum pernah mengikuti rapat team penggagas atas prakarsa Kebo. Kebetulan saya selalu berhalangan karena jadwal manggung dan opname untuk oprasi usus buntu. Tapi sebelum itu, Kebo menemuiku secara personal dan menyampaikan niat untuk menggelar Lockstock 2.
“Aku ra iso mandeg, kudu mlaku terus, kudu tangi meneh (aku tidak bisa berhenti, harus terus berjalan, harus bagun lagi)” katanya waktu itu.
Saya tahu secara umum kondisi Effort Creative dan pribadi Kebo saat itu, disamping hutang yang menumpuk kepada beberapa vendor dan rental, Kebo juga ditinggal oleh hampir semua partner dan staffnya. Dia sendirian. Karenanya aku secara tegas menyampaikan tidak bisa mendukung jika Kebo tetap grusa-grusu dan tidak memperhitungkan semua logika bisnisnya.
Kira-kira waktu itu aku katakan kepadanya seperti ini; “Satu, aku tetap tidak suka nama Lockstock. Diganti saja yang lebih membumi. Dua, mempersiapkan acara sebesar cita-citamu terhadap format Lockstock tidak cukup dilakukan hanya dalam waktu satu bulan, itu namanya ‘bunuh diri’ secara bisnis”.
Sebulan setelah pertemuan itu, aku baru sadar seminggu sebelum hari H, bahwa acara Lockstock 2 tetap diselenggarakan. Aku menelpon Kebo untuk meyakinkan hal itu dan berusaha menyarankan untuk membatalkannya.
Tapi itulah Kebo! Dan Lockstock 2 tetap diselenggarakn.
Hari pertama penyelenggaraan aku tidak hadir, aku memilih tinggal di rumahku di desa utara candi Prambanan sambil menikmati suasana perayaan Waisak di Candi Sewu yang relatif lebih nyaman dibandingkan dengan perayaan Waisak di Borobudur yang sudah terkomodifikasi secara banal itu. Tapi hujan besar yang mengguyur hampir seluruh wilayah Yogyakarta malam itu membuatku tak nyaman dan segera bergegas kembali ke rumah, kondisi ini juga membuatku bertanya-tanya bagaimana situasi hari pertama Lockstock 2.
Tak lama sesampainya di rumah, saya mendapatkan beberapa telpon dari teman-teman band luar kota yang komplain dalam hal administrasi dan penyelenggaraan Lockstock 2 yang semrawut. Kebanyakan dari mereka mundur dan membatalkan tampil karena fee belum terbayar. Beberapa menyangka bahwa aku terlibat secara langsung penyelenggaraan event ini dan namaku menjadi dasar mereka mau datang ke Jogja dengan fee yang murah. Mungkin hal ini juga dialami oleh Djaduk Ferianto, Aji Wartono, Wotowibowo, dan Memet.
Ketika membuka twitter, timeline dipenuhi dengan caci-maki atas penyelenggaraan Lockstock 2. Kemudian aku berusaha menelpon beberapa band luar kota untuk memastikan akomodasi dan hospitality mereka baik-baik. Paling tidak mereka bisa kembali ke kota masing-masing dengan nyaman. Aku juga berusaha menelpon beberapa teman yang ada di venue untuk mengetahui kondisi sesungguhnya di lapangan.
“Hancur… Lockstock Hancur… ” Begitulah kira-kira secara umum komentar yang aku dapat dari teman-teman akan event yang diberi tagline ‘the biggest annual music movement’ itu.
Aku selelu berkomunikasi dengan manajerku di Jogja Hip Hop Foundation (JHF), memastikan hingga detik-detik terakhir apakah besok JHF jadi manggung di acara Lockstock 2. Aku menelpon Erick dari band Endank Soekamti yang besok rencananya manggung bersama JHF untuk menutup acara Lockstock 2. Erick menyampaikan ajakan yang sangat simpatik;
“Aku tidak peduli orang mau ngomong apa tentang Lockstock, Ayo kita menyelamatkan nama Jogja, kita harus manggung bareng besok! Mungkin kita akan rugi secara materiil, tapi secara moril kita akan bangga, juga untuk menyapa fans kita yang datang dari luar kota”.
Akhirnya JHF memutuskan membatalkan konser hari kedua setelah tahu dari beberapa teman di venue dini hari itu, bahwa acara hari kedua tidak mungkin lagi diselenggarakan.
Setelah itu, aku berusaha mencari Kebo dan gagal.

Kabar Getir
26 Mei 2013, dulu kita begitu perkasa mengangkut puluhan mayat-mayat di lereng Merapi, tapi hari ini aku tidak mampu melihat jenazahmu yang ditemukan terberai dilindas kereta api. Tubuhku bergetar hingga aku tak kuasa mengendalikannya. Aku menjauhi meja dimana tubuhmu tergeletak.
Sejak mendengar kabar kamu hilang hingga dini hari dari acara Lockstock 2 yang kamu selenggarakan itu, aku berusaha mencarimu malam itu, Bajingan! Ketika membaca tweet terakhirmu pagi itu, aku disergap kepanikan yang dahsyat, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu kabar, yang dalam doa yang jarang aku lakukan itu, aku berharap akan ada berita baik.
Aku sangat menyesal kenapa aku tidak cukup mampu mengendalikanmu untuk menunda acara itu hingga setelah lebaran. Aku sudah mengatakan kepadamu bahwa, mempersiapkan acara sebesar format Lockstock tidak cukup dilakukan hanya dalam waktu satu bulan. Iya, sebulan yang lalu aku mengatakan kepadamu bahwa itu ‘bunuh diri’ secara bisnis. Tapi bukan ‘bunuh diri’ seperti ini, Bo. Asu!
Tapi kamu memang Kebo! Sekali mengambil keputusan pantang mundur. Dengan cula nyali yang besar kamu selalu menyeruduk segala rintangan termasuk hitung-hitungan logis, apa pun resikonya itu. Meskipun, karena semangat dan keberanianmu yang besar, aku tidak pernah membayangkan kamu akan ‘bunuh diri’ meninggalkan keluarga dan sahabat yang menyayangimu.
Di sisi gundukan tanah kuburmu, di seberang istri, anakmu, ayah, ibu, dua adikmu, dan keluarga besarmu yang terguncang hebat, aku meletakkan telapak tanganku ke tanah yang masih basah itu, tubuhku bergetar dan air mata deras mengalir, aku membisikkan kepadamu;
“Bajingan Asu! Kowe ngrepoti! Ning kowe cen Kebo! Angel dikandani, masiyo ngono kowe tetep kancaku. Aku mung isa ndereke sugeng tindak, sikiko, dipenake, aku isih sabar, mengko aku yo nyusul ngancani kowe”.
(Bajingan Asu! Kamu membikin repot! Tapi kamu memang Kebo! Susah diomongin, meskipun demikian kamu akan selalu menjadi temanku. Aku cuma bisa mengucapkan selamat jalan, silahkan kamu duluan, buatlah nyaman, aku masih sabar koq, nanti juga akan menyusulmu dan menemanimu).

Perjalanan Kecil di Taman
Berbagai teori dan dugaan muncul di banyak berita kematian tragis Kebo. Yang menjadi highlight adalah caci-maki di media sosial yang membuat Kebo memutuskan untuk bunuh diri. Kemudian terkenal dengan hashtag #cyberbullying yang di-mention ke akun twitter Kebo, @effort_creative. Apalagi jika kemudian khalayak membaca tweet terakhirnya..
“Terima kasih atas sgala caci maki @lockstockfest2.. ini gerakan.. gerakan menuju Tuhan.. Salam..” Status pamitan juga bisa ditemukan di Facebook-nya.
Aku sendiri mencoba berpikir jernih, bahwa seseorang boleh komplain dan marah ketika hak-haknya tidak terpenuhi. Aku membayangkan ketika diriku bersama JHF tour ke luar kota dan tiba-tiba tidak ada pembayaran dan eventnya berantakan. Dari sisi profesionalitas, kita punya hak untuk komplain dan menuntut penyelenggara. Juga berhak menyampaikan akar permasalahan ke publik, terutama kepada para fans kita, apalagi mereka yang datang dari luar kota hanya untuk menonton konser kita. Tapi aku juga sadar, bahwa industri musik di Indonesia sudah sangat busuk, hampir semua musisi kebanyakan bersandar pada fee manggung di mana para promotor dan EO bekerja keras untuk para musisi. Demikianlah kiranya kita juga harus bijak menyampaikan tuntutan dan gugatan itu.
Karena twitter, dan segala jenis media sosial yang lain, sesungguhnya adalah ruang publik. Itu bisa menjadi seperti podium orasi atau panflet mutakhir yang bisa membakar amarah publik untuk turut campur menghujat tanpa tahu akar permasalahannya. Bahkan beberapa publik figur yang aku anggap cukup bijak bisa terbawa arus ikut campur menghujat Lockstock 2 malam itu, meskipun mungkin dilakukan dari Jakarta dan tanpa konfirmasi. Okelah, kemudian kita bisa menghapus apa yang sudah di-publish di timeline, tapi bola panas telah digulirkan.
Aku perlu menjelaskan bahwa pemegang admin @JHFcrew harus menggunakan kata-kata yang sopan dan tidak offensive. Pun ketika komplain dengan panitia penyelenggara atau membatalkan manggung. Kami perlu menekankan moral agar tidak menyulut amarah terutama kepada fans kami. Hal serupa aku yakini berlaku pada akun @ShaggydogJogja yang ngetweet pembatalan secara formal tanpa ditambahi amunisi yang membakar amarah publik; “Mohon maaf, dengan berat hati, kami terpaksa membatalkan show di Lockstock fest. YK malam ini, dikarenakan terjadinya miskomunikasi dengan panitia”.
Perlu diketahui, sesungguhnya Kebo tidak melarikan uang seperti banyak dituduhkan di twitter, karena sesungguhnya memang tidak ada uangnya. Kebo menggunakan uang dari event Astra Honda di tgl 28 Mei untuk menutupi event Lockstock yang digadang-gadang oleh Kebo mampu menjadi representasi dan penanda pergerakan musik independen di Yogyakarta pada tgl 25 dan 26 Mei itu. Tapi uang itu tidak cukup, juga running penjualan tiket tidak seperti yang diharapkan karena hujan deras mengguyur venue semalaman. Dua panggung utama tidak bisa beroprasi. Penotnon tidak seperti yang diharapkan. Selanjutnya bisa ditebak
Akhirnya dia pergi meninggalkan venue karena kelabakan mencari hutangan untuk menutupi kekurangan di hari itu. Sesungguhnya tidak ada sponsor yang masuk. Ketika seminggu sebelum hari H aku telpon dan masih berusaha menyarankan dia untuk menunda penyelenggaraan, Kebo menyampaikan sudah mendapatkan uang untuk menggelar Lockstock 2. Juga tidak ada lagi teman yang bisa menalangi atau memberikan hutang kepadanya. Mungkin pintu-pintu memang sudah tertutup untuknya malam itu.
Dan sekali lagi, dia memang Kebo! Sekali melangkah tidak akan mundur…
Aku sendiri tidak yakin bahwa dia memutuskan bunuh diri hanya karena dicaci-maki di media sosial. Kiranya dia sudah membuat perhitungan dan janjian sendiri dengan Tuhannya atas segala masalah-masalah yang dihadapinya malam itu atau pun masalah-masalah sebelumnya. Aku hanya bisa menyarankan kita untuk ikhlas melepas kepergiannya dan legawa atas segala keruwetan yang ditimbulkannya berkaitan dengan penyelenggaraan Lockstock 2 maupun event-event sebelumnya.
Aku sungguh sangat berbangga, bahwa kita teman-teman dekatnya, tetap bergotong-royong untuk menyelesaikan hutang event terakhirnya atas Astra Honda yang menampilkan Cherry Belle dua hari setelah kepergiannya. Aku kembali meneteskan air mata, ketika teman-teman menyampaikan Gwen, anak satu-satunya datang bersama Arini istrinya, menari-nari mengikuti lagu “kamu cantik, cantik, dari hatimuuuu..”
Kita berteman sudah lama dan akan selalu seperti itu
Kebo, bagaimana pun kamu telah menorehkan sejarah, menjadi kaki yang menyokong perkembangan industri kreatif dan musik independen di Yogyakarta seperti cita-citamu, meskipun belum tuntas dan akhirnya jalan yang kau pilih adalah meninggalkan semua goresan yang telah kamu buat secara tragis.
Aku dan teman-teman yang kau tinggal akan mengambil pelajaran atas semua rangkaian peristiwa ini. Terima kasih untuk semua hal yang sudah kita lalui bersama. Baik, buruk, aku tidak peduli karena bagaimana pun kamu adalah temanku. Pun jika kamu memang benar-benar bunuh diri dan memilih sirna karena ‘malu’, kamu mengajarkan hal yang saat ini tidak dimiliki bangsa ini.
Lalu, adakah yang lebih penting dari semua pencapaian dan gemuruh tepuk tangan dari pada sebuah perjalanan kecil sore hari di taman?
Selamat jalan Bo!
Prambanan, 29 Mei 2013
Kill the DJ
*kiranya aku perlu menambahkan capture foto ini, bacalah dari bawah..
