Akhir 2010, isu Keistimewaan Yogyakarta yang hendak diubah Jakarta (baca: pemerintah pusat) sedang panas-panasnya, lagu Jogja Istimewa hadir mengiringi langkah-langkah yang gagah dan berani, menyatukan semangat, dan menjadi soundtrack bagi seluruh rakyat Yogyakarta dalam memperjuangkan keistimewaan itu. Makna kehadirannya semakin terasa istimewa karena lagu itu juga menjadi penyebar semangat bagi warga Yogyakarta untuk membantu saudara-saudara kita yang tertimpa bencana erupsi Merapi.
Pada sebuah kesempatan, saya pernah menyampaikan bahwa lagu tersebut bagai Pisau Bermata Dua, yang bisa menjadi dukungan atas perjuangan Yogyakarta, tapi sekaligus bisa menjadi pengingat atau kritik bagi seluruh warga, pamong praja, para pemimpin dan penguasa di Yogyakarta, jika dalam mengemban amanatnya tidak sesuai dengan nilai-nilai dan kearifan dalam lagu tersebut.
Seperti yang pernah saya sampaikan dalam tulisan “Membedah Lirik Jogja Istimewa”, lagu tersebut 90% liriknya bersumber dari realitas sejarah yang saya tulis ulang, mencerminkan nilai-nilai luhur yang telah tertanam sebagai tradisi dan identitas Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta sesungguhnya harus dimaknai bukan hanya sebatas namanya yang kembali dikukuhkan sebagai Daerah Istimewa, tapi bagaimana kita memaknai keistimewaan tersebut dalam praktik kehidupan sebagai warga Yogyakarta tak terkecuali siapa pun orang itu, warga biasa, maupun seorang walikota, bahkan raja.
“Tanah yang melahirkan tahta, tahta untuk rakyat, di mana rajanya bercermin di kalbu rakyat, di sanalah singgahsana bermartabat, berdiri kokoh mengayomi rakyat”. saya menulis dengan merinding kutipan lirik tersebut, karena membaca sejarah Kraton Yogyakarta dari jaman perjuangan kemerdekaan hingga reformasi yang selalu tercatat bisa mengaktualisasikan dirinya sebagai kraton rakyat yang selalu mengayomi seperti nilai “memayu hayuning bhawana” yang diembannya. Seperti itulah seharusnya kekuasaan dalam berbagai level pemerintahan di Yogyakarta diemban.
Apakah saat ini Ngayogyokarto Hadiningrat dan berbagai institusi pemerintahan di Yogyakarta masih menjadi ‘kraton rakyat’ hingga sekarang? Semuanya kembali kepada akar rumput, warga biasa, di sanalah permasalahan-permasalahan riil secara gamblang terbaca, meskipun dalam sisi dan kasus yang sangat spesifik kita tetap boleh curiga kepentingan politis tertentu yang menggerakkan mereka. Apapun itu, persis seperti ketika perjuangan membela keistimewaan, saya adalah ‘kelas menengah ngehek’ yang berdiri dibalik wong cilik, akar rumput yang turun memenuhi jalan-jalan untuk mendukung keistimewaan pada waktu itu.
Ing Ngarso Sung Thulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani …
Saya, bersama teman-teman di Jogja Hip Hop Foundation akan selalu lantang menyanyikan lagu Jogja Istimewa untuk mengingatkan nilai-nilai luhur yang tertulis dalam lirik tersebut. Karena hanya dengan keberanian dan kelapangan hati untuk bisa mengkritik diri sendiri agar menjadi lebih baik, maka kita pantas menyebut ‘tetap istimewa’.
Kill the DJ
Penulis lagu Jogja Istimewa kelahiran Klaten
Reblogged this on sariyantotegalrejo.
ane paling senang lagu yg satu ini, dari pertama datang ke Jogja. liat lagu hip hop khas jogja yg asik ya lagu. terus berkarya mas, 🙂
Τhanks foor finally talking about >Pisau Bermata
Dua; Refleksi Tiga Tahսyn Lagu Jogjа Istimewa | Kill the DJ <Loved it!