Drama suksesi Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat akhir-akhir ini, meskipun jauh-jauh hari sudah terprediksi, tetap saja sangat memprihatinkan. Sebagai penulis anthem Jogja Istimewa –yang sesungguhnya ketika diciptakan tidak ada kaitannya dengan status keistimewaan, wajar jika kemudian banyak pihak yang meminta pendapat saya, namun saya menolak untuk berkomentar karena tidak tertarik untuk ikut campur.
Saat ini saya sedang menjalani laku tapa bisu (berdiam diri) dengan tidak menyanyikan lagu Jogja Istimewa, hingga batas waktu yang tidak ditentukan, sebagai wujud keprihatinan atas berbagai hal buruk yang terjadi di Yogyakarta. Bukan hanya melulu gegeran suksesi keraton, melainkan juga bentuk keprihatinan atas berbagai arah pembangunan di Yogyakarta yang tidak lagi memanusiakan manusianya dan menghormati sedulur sikep (alam raya sebagai saudara manusia). Saya membutuhkan waktu lama untuk memutuskan dan harus berdebat sebagai resiko kolektif Jogja Hip Hop Foundation, karena bagaimanapun lagu tersebut yang membesarkan kami, juga banyak job manggung datang hanya untuk kami membawakan lagu itu.
Bagi saya tidak penting siapa raja Yogyakarta kelak, laki-laki atau perempuan, juga tidak penting apakah perlu menjaga paugeran keraton atau mengikuti sabda raja. Karena ada yang jauh lebih penting dari pada siapa yang akan jadi raja Yogyakarta, yaitu “rakyat”.
Mengambil pelajaran dari kisah pewayangan “Petruk Dadi Ratu”, dijelaskan bahwa siapapun yang berkuasa tidak akan bisa hidup dan menghidupi kekuasaan itu tanpa dipangku dan diemong oleh rakyatnya. Jaman selalu berubah, penguasa selalu berganti, kekuasaan tidak langgeng, yang selalu abadi adalah rakyat lengkap dengan segala daya kehidupannya. Kraton, negara, kekuasaan, tidak akan berarti tanpa rakyat yang bekerja untuk menjaga eksistensinya.
Pertanyaannya sekarang, apakah saat ini Keraton Yogyakarta masih masih dibutuhkan dalam kehidupan riil rakyat Yogyakarta? Apakah masih layak disebut sebagai “keraton rakyat” yang selalu mengayomi? Atau hanya sekedar simbol istana tempat tinggal keluarga darah biru tanpa ada peran berarti lagi bagi kehidupan rakyatnya?
Pada masa kemerdekaan Negeri Yogyakarta disebut sebagai “jantung Indonesia” karena menghidupi republik yang masih bayi dengan segala sumber daya yang dimilikinya, disamping kekayaan keraton, juga rakyatnya yang istimewa dan rela berkorban demi negerinya. Dalam berbagai peristiwa bersejarah rakyat sudah teruji kebesarannya; kemerdekaan, reformasi, gempa, merapi, keistimewaan, semuanya bisa terjadi karena kehendak rakyat yang bergerak. Seperti kalimat Soekarno ketika pamitan dari Yogyakarta sebagai ibu kota republik sementara saat itu; “Yogyakarta istimewa karena orang-orangnya yang rela berkorban”.
Pada sebuah kesempatan Sri Sultan HBX pernah menerangkan filosofi angka Jawa kepada saya, bahwa angka tertinggi di Jawa itu adalah 9, 10 itu sama dengan 0, maka beliau sebagai sultan ke 10 harus memulai hal baru, meletakkan pondasi baru untuk masa depan Yogyakarta. Tapi entah kenapa, saat itu justru saya berpikir bahwa 0 juga bisa bermakna “habis” atau “selesai”. Tergambar dalam imajinasi saya Kraton Yogyakarta akan bubar. 5 orang anak yang semuanya perempuan adalah pertanda dari alam.
Saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah paragraf dari buku saya Java Beat in the Big Apple;
“…di sisi lain, lagu Jogja Istimewa seperti pisau bermata dua, dia adalah dukungan untuk akar rumput yang sangat mencintai negerinya, sekaligus liriknya adalah pepiling (pengingat) akan nilai-nilai yang harus dijunjung oleh masyarakat dan pemimpinnya, tidak terkecuali bagi rajanya. Waktu akan membuktikan hal-hal, generasi akan berganti, dan semuanya akan berjalan dengan sendirinya secara alamiah. Karya trilogi yang menggambarkan kecintaan kami kepada Yogyakarta adalah penanda akan perubahan-perubahan jaman; Jogja Istimewa (2010), Song of Sabdatama (2012), Jogja Ora Didol (2014). Sudah seharusnya rasa cinta tidak membuat kita buta akan kekurangannya.”
Kill the DJ
Penulis lagu Jogja Istimewa, lahir dan tinggal di Klaten
Awas. Mawas. Waspada.
Reblogged this on Kate Grealy and commented:
Tulisan yang menarik .. “Mengambil pelajaran dari kisah pewayangan “Petruk Dadi Ratu”, dijelaskan bahwa siapapun yang berkuasa tidak akan bisa hidup dan menghidupi kekuasaan itu tanpa dipangku dan diemong oleh rakyatnya. Jaman selalu berubah, penguasa selalu berganti, kekuasaan tidak langgeng, yang selalu abadi adalah rakyat lengkap dengan segala daya kehidupannya. Kraton, negara, kekuasaan, tidak akan berarti tanpa rakyat yang bekerja untuk menjaga eksistensinya.
Pertanyaannya sekarang, apakah saat ini Keraton Yogyakarta masih masih dibutuhkan dalam kehidupan riil rakyat Yogyakarta? Apakah masih layak disebut sebagai “keraton rakyat” yang selalu mengayomi? Atau hanya sekedar simbol istana tempat tinggal keluarga darah biru tanpa ada peran berarti lagi bagi kehidupan rakyatnya”?
Sebagai warga jogja yg sdg merantau, sy sangat prihatin dg setiap kabar ttg jogjaku yg selama ini yg byk di agung2kan orang
dipun penggalih mawon den…
Apik kang. Jan-jane keberadaaan rajaaaaaaaa dengan kehidupan dekaraaang. Apakah bener2 di btuhkan masyarakaaat?. Iki apik di renunggggkaannnnn kang juk.
Panjenengan jos gandos.
Salam hangat.
Banh Cupuh
Blogger (Trenggalek, tukang sego gaplek).
Nah koq Kraton Solo sampai Pakubuwono XIII? Jadi kalau Suktan bicara begitu itu karena dia ada maksud2 tertentu utk future keluarganya. Yang saya ingin usul adalah, semua harta Keraton itu untuk rakyat Jogja dari Pabrik Gula, pabrik tembakau dll. Sultan hanya sebagai simbol saja seperti Sultan Solo. Karena Sultan hanya manusia biasa kalau dikasih posisi yang berlebihan spt gubernur dsb. akan timbul jiwa serakah seperti kebanyakan manusia lainnya. Sultan harus punya career sendiri di bidang lain, Sultan hanya sebagai seperti ketua organisasi budaya saja. By the way, saya juga kerabat kraton yang sangat mengagumi Sultan HBIX yang bilang “Tahta untuk rakyat”..!!
Reblogged this on Dawud Kusuma.
Selamat siang, saya Manik Lintang dari Jurusan Politik dan Pemrintahan, Fisipol UGM angkatan 2013. Begini, saya dan kelompok saya sedang mengerjakan penugasan akhir mata kuliah Politik Ekstra Parlementer yang diampu oleh Bp. Abdul Gafar Karim. Kami sangat tertarik dengan kontribusi yang diberikan oleh Jogja Hip Hop Foundation dalam melakukan kegiatan ekstra parlementer terutama ketika masa kampanye Jokowi-JK. Kami juga ingin mengetahui lebih jauh bagaimana para personil JHF ini memberikan kritik sosial terhadap berbagai macam permasalahan di negeri ini salah satunya melalui blog ini. Untuk itu kami ingin melakukan perbincangan lebih jauh jika diperkenankan, dosen saya juga menyarankan untuk mengundang kak Marzuki Mohamad sebagai dosen tamu di mata kuliah kami jika bersedia. Untuk itu, apakah kami dapat bertemu untuk membicarakan hal ini? Jika berkenan kami mohon balasannya melalui email saya maniklintang08@gmail.com
Terimakasih banyak atas waktunya, mohon maaf jika mengganggu